Medang Kamulan dapat dikatakan sebagai kelanjutan Mataram karena ia tak lain adalah ibukota Mataram. Nama kamulan bisa dianggap sebagai perubahan kata “kamulyaan” atau
“kemulian”. Namun, sebagian
ahli berpendapat, Medang Kamulan adalah
ibukota Kediri atau Jenggala. Adapula yang menyebutnya Kerajaan
Kahuripan.
Pada masa Medang
Kamulan inilah
terjadi perpindahan kekuasaan
politik dari Jawa Tengah ke Jawa Timur, setelah Mataram hancur
karena letusan Gunung Merapi. Pergeseran peta
kekuasaan ini pada perkembangannya sangat menentukan sejarah perpolitikan di Jawa khususnya. Medang Kamulan dibangun oleh keturunan raja Mataram. Namanya Mpu Sindhok, pendiri Dinasti Isana. Dinasti Isana ini memerintah Medang Kamulan selama
satu abad sejak 929 M.
Ada dua prasasti yang
mengisahkan Medang Kamulan, yakni Prasasti Mpu Sindhok,
menceritakan masa pemerintahan Mpu Sindhok; dan Prasasti
Kalcutta, menceritakan awal mula silsilah Dinasti
Isana
sampai zaman pemerintahan Airlangga.
Mpu Sindhok bergelar Sri Maharaja Raka i Hino Sri Isana Wikrama Dharmatunggadewa. Raja ini memerintah selama 20 tahun. Ia memiliki seorang permaisuri,
bernama Sri
Wardhani Pu Kbin. Menurut berita prasasti, Sindhok memerintah dengan adil dan rakyatnya
makmur.
baca juga : glosarium, istilah Sejarah dan penjelasannya
Salah satunya prestasi
Sindhok adalah
membangun sebuah bendungan sebagai tanggul
dan menanami bendungan tersebut dengan ikan.
Meski
beragama Hindu-Siwa, Mpu Sindhok bertoleransi terhadap
agama Buddha. Salah satu
kitab umat Buddha
berjudul Sang Hyang Kamahayanikan diterbitkan pada masa pemerintahannya.
Mpu Sindhok digantikan Sri Isana Tunggawijaya, puteranya.
Setelah Tunggawijaya, Medang Kamulan diperintah oleh Dharmawangsa Teguh, cucu Mpu Sindhok.
Dharmawangsa Teguh adalah
raja Medang Kamulan yang paling
tersohor.
Semasa pemerintahannya,
Teguh berusaha meningkatkan kesejahteraan
rakyatnya dengan mengembangkan pertanian dan perdagangan. Namun, usahanya
ini terhambat oleh
Sriwijaya
yang ingin menguasai perdagangan Jawa dan Sumatera.
Untuk merebut perairan Selat Malaka dari dominasi pedagang- pedagang Sriwijaya, Teguh mengirimkan tentaranya
pada 1003 M, namun tidak
berhasil. Bahkan Sriwijaya
mampu memukul balik Medang Kamulan. Kekalahan
Medang Kamulan atas Sriwijaya ini bermula dari pemberontakan penguasa
Wurawuri.
Awalnya, Wurawuri merupakan kerajaan kecil bawahan Medang Kamulan. Namun karena dihasut orang-orang Sriwijaya,
raja Wurawuri nekad mengudeta pemerintahan Medang Kamulan. Gerakan Wurawuri ini terjadi
ketika di Medang Kamulan sedang dilangsungkan pesta pernikahan Airlangga dengan
puteri Dharmawangsa Teguh. Airlangga adalah putera
Raja Bali Udayana dengan Mahendradatta (saudari Dharmawangsa Teguh). Peristiwa berdarah
ini dinamai Pralaya
Medang. Medang Kamulan hancur dan Dharmawangsa tewas. Pralaya atau perlaya berarti
Airlangga sendiri berhasil
meloloskan diri bersama para pengikutnya yang
setia, Narottama. Dalam pelariannya, Airlangga
diterima oleh para
brahmana yang bersimpati. Kemudian,
Airlangga digembleng oleh para brahmana itu.
Airlangga lalu dinobatkan menjadi raja Medang Kamulan pada 1019 M, pusat pemerintahan pun beralih
ke Kahuripan. Sebagai
mantu sekaligus
kemenakan Dharmawangsa, Airlangga merasa
berkewajiban mengembalikan kewibawaan
Medang Kamulan. Ia berhasil menaklukkan
raja-raja yang dulu merupakan bawahan Medang. Raja Bisaprabhawa ditaklukkan tahun 1029, Raja Wijayawarman dari Wengker ditundukkan tahun
1030, Raja Adhamapanuda ditaklukkan tahun 1031. Raja Wurawari, musuh bebuyutannya, ditaklukkan tahun 1035.
Setelah menundukkan raja-raja kecil itu,
Airlangga memindahkan ibukota
ke wilayah
Kahuripan di Jawa Timur. Ia juga memperbaiki Pelabuhan
Hujung Galuh
di muara Sungai Brantas. Pada masa Airlangga, Pelabuhan Tuban (Kembang Putih) dan
Hujung Galuh merupakan pelabuhan
dagang yang ramai. Dua pelabuhan ini merupakan tempat transit dan
bertemunya para pedagang
pribumi dengan pedagang mancanegara, seperti dari India, Birma,
Kamboja, dan Campa.
Setelah menjadi raja, Airlangga tidak melupakan jasa-jasa
para brahmana yang telah menggembengnya dulu. Sebagai balas jasa,
ia membangun candi dan asrama sebagai
tempat beribadah para brahmana di daerah
Pucangan. Tak lupa
pula, Airlangga membangun Waduk Waringin Sapta sebagai pencegah
banjir dan mengairi lahan pertanian. Ia pun
membangun jalan-jalan yang menghubungkan daerah pesisir pantai ke pusat Kerajaan. Berkatnyalah, Medang Kamulan mencapai keemasannya. Kisah
hidup Airlangga kemudian dituturkan dalam Kitab
Arjuna Wiwaha
karya Mpu Kanwa.
Airlangga memutuskan mundur sebagai raja. Ia memilih menjadi
seorang
pertapa dengan sebutan
Resi Gentayu. Ia meninggal
pada 1049 M dan disemayamkan di
Gunung Penanggungan, di sekitar Komplek Candi
Belahan. Pewaris takhta Medang
Kamulan seharusnya adalah puteri
Airlangga yang lahir dari permaisuri, yakni Sri Sanggramawijaya. Namun, karena Sanggramawijaya juga memilih
hidup
menjadi pertapa, takhta beralih
kepada putera Airlangga dari selir. Untuk mencegah kemungkinan perang saudara, Mpu Bharada, seorang petinggi
istana,
membagi Medang Kamulan menjadi dua; Panjalu
(disebut juga Kediri)
dan Janggala.
Panjalu diberikan kepada Samarawijaya
dengan ibu kota Daha, sementara Jenggala diberikan kepada Panji Garasakan
dengan ibu kota Kahuripan. Wilayah Jenggala
meliputi hampir sebagian
Jawa Timur, wilayah
Kediri (Panjalu) mencakupi Jawa Timur dan sebagian
Jawa Tengah.
Dengan
demikian, berakhirlah
Medang Kamulan dan Dinasti Isana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar