Pages

Minggu, 29 Agustus 2021

Perang Banjarmasin, Perang Puputan, Perang Tondano

 d. Perang Banjarmasin 

Perang Banjar diawali dari perebutan takhta yang terjadi di dalam keluarga Kesultanan Banjar. Sultan Adam yang meninggal pada 1857 mewariskan takhta kepada Pangeran Hidayat. Namun, Belanda di bawah Gubernur Jenderal Rochussen ikut campur menentukan pewaris takhta tersebut. Sultan Adam cenderung untuk memilih Pangeran

Hidayatullah. Alasannya memiliki perangai yang baik, taat beragama, luas pengetahuan, dan disukai rakyat. Sebaliknya Pangeran Tamjid kelakuannya kurang terpuji, kurang taat beragama dan bergaya hidup kebarat- baratan meniru orang Belanda. Pangeran Tamjid inilah yang dekat dengan Belanda dan dijagokan oleh Belanda. Belanda menekan Sultan Adam dan mengancam supaya mengangkat Pangeran Tamjid. Belanda menginginkan Pangeran Tamjid Ullah menjadi sultan karena Belanda mengharapkan izinnya untuk menguasai daerah pertambangan batu bara yang berada di wilayah kekuasaan Pangeran Tamjid Ullah. Belanda kemudian mengangkat Pangeran Tamjid Ullah sebagai sultan dan Pangeran Hidayat diangkat sebagai mangkubumi Oleh karena itu, timbullah keresahan dan pemberontakan di kalangan rakyat daerah pedalaman karena rakyat menghendaki Pangeran Hidayat yang menjadi sultan. Pada akhirnya, kekuasaan di Kasultanan Banjar diambil alih pemerintah Belanda, setelah menurunkan Pangeran Tamjid Ullah dari takhta kesultanan. Cucu Sultan Adam Al Wasikbillah ada 2 orang, yaitu:

    • a.  Pangeran Hidayatullah, putra Sultan Muda Abdurrakhman dengan permaisuri putri keraton Ratu       Siti, Putri dari Pangeran Mangkubumi Nata.
    • b. Pangeran   Tamjid   adalah   putra   Abdurrakhman   dengan   istri   wanita biasa   keturunan                   China   yang   bernama   Nyai   Aminah.   

 

Latar   Belakang   Terjadinya Perlawanan Rakyat Banjar 

a. Belanda memaksakan monopoli perdagangan di Kerajaan Banjar.

 Jalannya Perlawanan Rakyat Banjar dan Pangeran Antasari Kendatipun Pangeran Hidayat tidak menjadi Sultan Kerajaan Banjar, tetapi ia telah mempunyai kedudukan sebagai Mangkubumi. Pengaruhnya cukup besar di kalangan rakyatnya. Campur tangan Belanda di kraton makin besar dan kedudukan Pangeran Hidayat sebagai Mangkubumi makin terdesak. Oleh karena itu, ia memutuskan untuk mengadakan  perlawanan bersama sepupunya  Pangeran  Antasari.  Di  mana-mana timbul suara ketidakpuasan masyarakat terhadap Sultan Tamjidillah II (gelar Sultan Tamjid setelah naik tahta) dan kebencian rakyat terhadap Belanda. Kebencian rakyat lama-lama berubah menjadi bentuk perlawanan yang terjadi di mana-mana. Perlawanan tersebut dipimpin oleh seorang figur yang didambakan rakyat, yaitu Pangeran Antasari.

Pangeran Antasari, seorang bangsawan yang sudah lama hidup di kalangan rakyat yang berusaha mempersatukan kaum pemberontak. Pada April 1859, pasukan Pangeran Antasari menyerang pos Belanda di Martapura dan Pengaron. Pada Maret 1860, bertepatan dengan bulan suci Ramadhan 1278 Hijriah, para alim ulama dan para   pemimpin   rakyat   menobatkan   Pangeran   Antasari   menjadi   Panembahan Amirudin Kalifatul Mukminin, atau pemimpin tertinggi agama. Pangeran Antasari seorang pemimpin perlawanan yang amat anti Belanda. Ia bersama pengikutnya, Kyai  Demang  Leman,  Haji  Nasrun,  Haji  Buyasin  dan  Haji  Langlang,  berhasil menghimpun kekuatan sebanyak 3000 orang. Ia bersama pasukannya menyerang pos-pos Belanda di Martapura dan Pengaron pada tanggal 28 April Pertempuran heat terjadi di salah satu pusat kekuatan Pangeran Antasari, yaitu Benteng Gunung Lawak. Belanda berhasil menduduki Benteng Gunung Lawak (27 September 1859). 

Niat Belanda yang sebenarnya adalah menghapuskan Kerajaan Banjar. Hal ini baru terlaksana setelah Kolonel Andresen dapat menurunkan Sultan Tamjidillah, yang dianggapnya sebagai penyebab kericuhan, sedangkan Pangeran Hidayat sebagai Mangkubumi telah meninggalkan kraton. Belanda menghapuskan kerajaan Banjar pada tanggal 11 Juni 1860 dan dimasukkan ke dalam kekuasaan Belanda. Pangeran Hidayat terlibat dalam pertempuran yang hebat melawan Belanda pada tanggal 16 juni 1860 di Anbawang. Adanya ketidakseimbangan dalam persenjataan dan pasukan yang kurang terlatih, menyebabkan Pangeran Hidayat harus mengundurkan diri. Belanda menggunakan siasat memberikan kedudukan dan jaminan hidup kepada setiap orang yang bersedia menghentikan perlawanan dengan menyerahkan diri kepada Belanda. Ternyata siasat ini berhasil, yaitu dengan menyerahkan Kyai Demang Leman pada tanggal 2 Oktober Akhir Perlawanan Rakyat Banjar Penyerahan Kyai Demang Leman mempengaruhi kekuatan pasukan Pangeran Antasari. Beberapa bulan kemudian Pangeran Hidayat dapat ditangkap, akhirnya diasingkan ke Jawa pada tanggal 3 Februari Rakyat Banjar memberikan kepercayaan sepenuhnya kepada Pangeran Antasari dengan mengangkatnya sebagai pemimpin tertinggi agama dengan gelar Panembahan Amirudin Khalifatul Mukminin pada tanggal 14 Maret Perlawanan diteruskan bersama-sama pemimpin yang lain, seperti Pangeran Miradipa, Tumenggung Mancanegara, Tumenggung Surapati dan Gusti Umar. Pertahanan pasukan Pangeran Antasari ditempatkan di Hulu Teweh. Pada akhir 1860, kedudukan pasukan Pangeran Antasari semakin terjepit dan melakukan perang gerilya. Ketika wabah penyakit melanda daerah pedalaman, di di Kampung Bayam Bengkok inilah Pangeran Antasari meninggal dunia pada tanggal 11 Oktober Akan tetapi, perlawan an terhadap Belanda tetap dilanjutkan oleh putranya Pangeran Muhammad Seman dan adiknya, Muhammad Said. Perjuangan dilanjutkan oleh putrinya yang bernama Sulaiha. Perlawanan rakyat Banjar terus berlangsung dipimpin oleh putera Pangeran Antasari, Pangeran Muhamad Seman bersama pejuang-pejuang Banjar lainnya.

 

e.   Perang Puputan di Bali 

Sikap pantang menyerah rakyat Bali dijadikan alasan oleh pemerintah Belanda untuk menyerang Bali.Tokoh perang Bali adalah raja kerajaan buleleng I Gusti Made Karangasem dan patihnya I Gusti Ketut Jelantik sebagai pimpinan rakyat Buleleng. Pada abad ke-19, di Bali terdapat banyak kerajaan, yang masing-masing mempunyai kekuasaan tersendiri. Kerajaan-kerajaan tersebut antara lain Buleleng, Karangasem, Klungkung, Gianyar, Bandung, Tabanan, Mengwi, Bangli, dan Jembrana.

Di antara kerajaan-kerajaan tersebut yang gencar mengadakan perlawanan terhadap Belanda adalah Buleleng dan Bandung. Raja-raja di Bali terikat dengan perjanjian yang disebut Hak Tawan Karang, yaitu hak suatu negara untuk mengakui dan memiliki kapal-kapal yang terdampar di wilayahnya. Hak Tawan Karang inilah yang memicu peperangan dengan Belanda. Pada 1844, perahu dagang milik Belanda terdampar di Prancak, wilayah Kerajaan Buleleng dan terkena Hukum Tawan Karang. Hukum tersebut memberi hak kepada penguasa kerajaan untuk menguasai kapal yang terdampar beserta isinya. Dengan kejadian itu, Belanda memiliki alasan kuat untuk melakukan serangan ke Kerajaan Buleleng namun rakyat Buleleng dapat menangkis serangan tersebut. Akan tetapi, pada serangan yang kedua pada 1849, pasukan Belanda yang dipimpin Jenderal Mayor A.V. Michies dan Van Swieeten berhasil merebut benteng pertahanan terakhir Kerajaan Buleleng di Jagaraga. Dengan serangan besar-besaran, rakyat Bali membalasnya dengan perang habishabisan guna mempertahankan harga diri sebagai orang Bali. Pertempuran untuk mempertahankan Buleleng itu dikenal dengan Puputan Jagaraga. Puputan lainnya, yaitu Puputan Badung (1906), Puputan Kusamba (1908), dan Puputan Klungkung (1908). Pada sekitar abad 18, para penguasa Bali menerapkan hak tawan karang, yaitu hak yang menyatakan bahwa kerajaan-kerajaan Bali berhak merampas dan menyita barangbarang dan kapal-kapal yang terdampar dan kandas di wilayah perairan Pulau Bali.

 

Latar Belakang Terjadinya Perlawanan Rakyat Bali

    • a.  Pemerintah   kolonial   Belanda   ingin  menguasai   Bali  Yaitu   berusaha   untuk meluaskan  daerah kekuasaannya. Perjanjian antara pemerintah kolonial Belanda dengan raja-raja Klungkung, Bandung, dan Buleleng dinyatakan bahwa raja-raja Bali mengakui bahwa kerajaannya berada di bawah kekuasaan negara Belanda. Raja memberi izin pengibaran bendera Belanda di daerahnya.
    • b.  Pemerintah kolonial Belanda ingin menghapuskan hak Tawan Karang yang sudah menjadi  tradisi  rakyat  Bali.  Hak  Tawan  Karang  adalah  hak  raja  Bali  untuk merampas perahu yang terdampar di pantai wilayah kekuasaannya. 

Pada tahun 1844, di pantai Prancak dan pantai Sangsit (pantai di Buleleng bagian timur) terjadi perampasan kapal-kapal Belanda yang terdampar di pantai tersebut. Timbul percekcokan antara Buleleng dengan Belanda. Belanda menuntut agar Kerajaan Buleleng melaksanakan perjanjian 1843, yakni melepaskan hak Tawan Karang. Tuntutan Belanda tidak diindahkan oleh Raja Buleleng I Gusti Ngurah Made Karangasem. Belanda menggunakan dalih kejadian ini dan menyerang Kerajaan Buleleng. Pantai Buleleng diblokade dan istana raja ditembaki dengan meriam dari pantai.

Perlawanan sengit dari pihak Kerajaan. Buleleng dapat menghambat majunya laskar Belanda. Korban berjatuhan dari kedua belah pihak. Akhirnya Belanda berhasil menduduki satupersatu daerah-daerah sekitar istana raja (Banjar Bali, Banjar Jawa, Banjar Penataran, Banjar Delodpeken, Istana raja telah terkurung rapat). I Gusti Made Karangasem menghadapi situasi ini kemudian mengambil siasat pura- pura menyerah dan tunduk kepada Belanda. Raja Buleleng (Bali) beserta penulisnya. Dalam rangka perlawanan terhadap Belanda, raja-raja Bali melancarkan hukum adat hak tawan karang. Dan dalam perang melancarkan semangat puputan. I Gusti Ketut Jelantik, patih kerajaan Buleleng melanjutkan perlawanan. Pusat perlawanan ditempatkannya di wilayah Buleleng Timur, yakni di sebuah desa yang bernama desa Jagaraga. Secara geografis desa ini berada pada tempat ketinggian, di lereng sebuah perbukitan dengan jurang di kanan kirinya. Desa Jagaraga sangat strategis   untuk   pertahanan  dengan  benteng   berbentuk   supit   urang.  Benteng dikelilingi parit dengan ranjau yang dibuat dari bambu untuk menghambat gerakan musuh. Benteng Jagaraga diserang oleh Belanda, namun gagal karena Belanda belum mengetahui medan yang sebenarnya dan siasat pertahanan supit urang laskar Jagaraga. I Gusti Ketut Jelantik bersama seluruh laskarnya setelah memperoleh kemenangan, bertekad untuk mempertahankan benteng Jagaraga sampai titik darah penghabisan demi kehormatan kerajaan Buleleng dan rakyat Bali. Pada 1849, Belanda kembali mengirim ekspedisi militer di bawah pimpinan Mayor Jenderal Michies. Mereka menyerang Benteng Jagaraga dan merebutnya. Belanda juga menyerang Karang Asem. Pada 1906, Belanda menyerang Kerajaan Badung. Raja dan rakyatnya melakukan perlawanan sampai titik darah penghabisan.

Perang yang dilakukan sampai titik darah penghabisan dikenal dengan puputan. Untuk memadamkan perlawanan rakyat Bali yang berpusat di Jagaraga, Belanda mendatangkan pasukan secara besar-besaran, maka setelah mengatur persiapan, mereka langsung menyerang Benteng Jagaraga. Mereka menyerang dari dua arah, yaitu arah depan dan dari arah belakang Benteng Jagaraga. Pertempuran sengit tak dapat dielakkan lagi, terutama pada posisi di mana I Gusti Ketut Jelantik berada. Benteng Jagaraga dihujani tembakan meriam dengan gencar. Korban telah berjatuhan di pihak Buleleng. Kendatipun demikian, tidak ada seorang pun laskar Jagaraga yang mundur atau melarikan diri. Mereka semuanya gugur dan pada tanggal 19 April 1849 Benteng Jagaraga jatuh ke tangan Belanda. Mulai saat itulah Belanda menguasai Bali Utara.

 F. Perang Tondano

1. Perang Tondano I (1808)

Sekalipun  hanya  berlangsung sekitar  satu  tahun   Perang  Tondano  terjadi dalam dua tahap.  Perang Tondano I terjadi pada masa kekuasaan VOC. Pada saat  datangnya bangsa  Barat, orang-orang Spanyol sudah  sampai  di tanah Minahasa (Tondano) Sulawesi Utara. Orang-orang Spanyol selain berdagang juga  menyebarkan agama  Kristen. Tokoh yang  berjasa  dalam  penyebaran agama  Kristen di tanah   Minahasa  adalah  Fransiscus Xaverius. Hubungan dagang  orang   Minahasa   dan   Spanyol  terus   berkembang.  Tetapi  mulai abad  XVII  hubungan dagang antara   keduanya   mulai  terganggu dengan kehadiran  para pedagang VOC. Waktu itu VOC telah berhasil menanamkan pengaruhnya di Ternate. Bahkan, Gubernur Terante Simon Cos mendapatkan kepercayaan  dari Batavia untuk membebaskan Minahasa dari pengaruh Spanyol.  Simon  Cos  kemudian   menempatkan kapalnya  di  Selat  Lembeh untuk  mengawasi pantai  timur Minahasa.  Para pedagang Spanyol dan juga Makassar yang bebas  berdagang mulai tersingkir karena  ulah VOC. Apalagi waktu  itu Spanyol harus meninggalkan Kepulauan  Indonesia untuk  menuju Filipina.

VOC berusaha memaksakan kehendak agar orang-orang Minahasa menjual berasnya  kepada   VOC. Hal ini karena  VOC sangat   membutuhkan  beras untuk  melakukan  monopoli  perdagangan beras  di Sulawesi Utara.  Orang- orang Minahasa menentang usaha monopoli tersebut. Tidak ada pilihan lain bagi  VOC kecuali memerangi orang-orang Minahasa.  Untuk  melemahkan orang-  orang  Minahasa,  VOC membendung Sungai  Temberan.  Akibatnya aliran  sungai  meluap  dan  menggenangi tempat  tinggal  rakyat  dan  para pejuang    Minahasa.   Orang-orang   Minahasa   kemudian   memindahkan

tempat  tinggalnya   di   Danau   Tondano   dengan  rumah-rumah  apung. Pasukan VOC kemudian  mengepung kekuatan orang-orang Minahasa yang berpusat di Danau  Tondano.  Simon Cos kemudian  memberikan  ultimatum yang isinya antara  lain: 

(1) Orang-orang Tondano  harus  menyerahkan para tokoh pemberontak kepada  VOC, 

(2) orang-orang Tondano harus membayar ganti  rugi dengan menyerahkan 50-60  budak  sebagai  ganti  rugi rusaknya tanaman  padi  karena   genangan  air  Sungai  Temberan.  

Ternyata  rakyat Tondano  bergeming  dengan ultimatum  VOC tersebut. Simon Cos sangat kesal karena ultimatumnya tidak diperhatikan. Pasukan VOC akhirnya ditarik mundur   ke  Manado.   Setelah  itu  rakyat  Tondano   menghadapi  masalah dengan hasil pertanian yang  menumpuk, tetapi  tidak  ada  yang  membeli. Dengan  terpaksa  mereka  kemudian   mendekati VOC agar  membeli  hasil- hasil  pertaniannya.  Dengan   demikian,   terbukalah  tanah   Minahasa   oleh VOC. Berakhirlah Perang  Tondano  I. Orang-orang Minahasa  kemudian memindahkan perkampungannya di Danau Tondano ke perkampungan baru di daratan yang diberi nama Minawanua (ibu negeri).

2)  Perang Tondano II (1809)

Perang  Tondano  II  sebenarnya sudah  terjadi ketika memasuki  abad  ke-19, yakni pada masa pemerintahan kolonial Belanda. Perang ini dilatarbelakangi oleh kebijakan  Gubernur  Jenderal  Daendels  yang mendapat mandat untuk mempertahankan Jawa dari serangan Inggris. Daendels memerlukan pasukan dalam  jumlah  besar.   Untuk  menambah  jumlah  pasukan,   maka  direkrut pasukan   dari  kalangan   pribumi.  Mereka  yang  dipilih  adalah   dari  suku- suku  yang  memiliki keberanian berperang. 

Beberapa  suku  yang  dianggap memiliki keberanian adalah  orang-orang Madura,  Dayak,  dan  Minahasa. Atas perintah  Daendels melalui Kapten Hartingh,  Residen Manado  Prediger segera mengumpulkan para ukung.  (Ukung adalah  pemimpin  dalam  suatu  wilayah walak atau  daerah  setingkat distrik). Belanda  menargetkan 2000  pasukan  Minahasa  yang  akan  dikirim ke  Jawa.  Ternyata  orang-orang Minahasa  umumnya   tidak  setuju  dengan program   Daendels   untuk   merekrut   pemuda-pemuda  Minahasa   sebagai pasukan  kolonial. Banyak di antara  para ukung  mulai meninggalkan rumah. Mereka  justru  ingin  mengadakan  perlawanan terhadap  kolonial  Belanda. Mereka   memusatkan  aktivitas  perjuangannya  di  Tondano,   Minawanua. Salah seorang  pemimpin perlawanan itu adalah Ukung Lonto. Ia menegaskan rakyat Minahasa harus melawan  kolonial Belanda sebagai bentuk  penolakan terhadap  program   pengiriman   2.000   pemuda  Minahasa   ke  Jawa  serta menolak  kebijakan  kolonial yang memaksa  agar  rakyat menyerahkan beras secara cuma-cuma kepada  Belanda.

Dalam suasana  yang  semakin  kritis itu tidak  ada  pilihan lain bagi  Residen Prediger  kecuali  mengirim  pasukan   untuk  menyerang pertahanan  orang- orang   Minahasa   di  Tondano   Minawanua.  Belanda  kembali  menerapkan strategi  dengan membendung Sungai Temberan.  Prediger juga membentuk dua  pasukan  tangguh. Satu  pasukan  dipersiapkan  untuk  menyerang  dari Danau Tondano,  sedangkan pasukan  yang lain menyerang Minawanua dari darat.   Tanggal  23  Oktober  1808   pertempuran mulai  berkobar.  Pasukan Belanda yang berpusat di Danau Tondano  berhasil melakukan  serangan dan merusak pagar bambu berduri yang membatasi danau dengan perkampungan Minawanua sehingga  menerobos pertahanan orang-orang Minahasa di Minawanua. Walaupun  sudah  malam para pejuang  tetap  dengan semangat yang tinggi terus bertahan dan melakukan  perlawanan dari rumah ke rumah. Pasukan  Belanda merasa  kewalahan. Setelah  pagi hari tanggal  24 Oktober 1808   pasukan   Belanda  dari  darat   membombardir kampung pertahanan Minawanua. Serangan terus dilakukan Belanda sehingga kampung itu seperti tidak ada lagi kehidupan. Pasukan  Prediger mulai   mengendorkan serangannya.Tiba-tiba   dari perkampungan itu orang-orang Tondano  muncul  dan  menyerang dengan hebatnya sehingga  beberapa korban berjatuhan dari pihak Belanda. Pasukan Belanda terpaksa  ditarik mundur. Seiring dengan itu Sungai Temberan  yang dibendung mulai  meluap  sehingga  mempersulit  pasukan  Belanda  sendiri. Dari jarak jauh Belanda terus menghujani meriam ke Kampung Minawanua, tetapi tentu  tidak efektif. Begitu juga serangan yang dari danau tidak mampu mematahkan semangat juang  orang-orang Tondano,  Minawanua. Bahkan terdengar berita kapal Belanda yang paling besar tenggelam di danau. Perang Tondano II berlangsung cukup lama, bahkan sampai Agustus 1809. Dalam suasana kepenatan dan kekurangan makanan, mulai ada kelompok pejuang yang memihak kepada Belanda. Namun dengan kekuatan yang  ada  para  pejuang   Tondano terus memberikan    perlawanan. Akhirnya  pada tanggal 4-5 Agustus 1809 Benteng pertahanan Moraya milik para pejuang  hancur bersama    rakyat   yang   berusaha m e m p e r t a h a n k a n n y a . P a r a pejuang itu memilih mati dari pada menyerah  kepada  penjajah..


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

POSTINGAN UNGGULAN

KISI-KISI SEJARAH X SOAL AKM

  CONTOH KISI -KISI SOAL AKM KLS X  MATA PELAJARAN IPS SEJARAH TAHUN 2022-2023