Asal Mula penyebutan Ho-ling :
Nama Ho-ling sebenarnya muncul ketika terjadi
perubahan dengan mulai meluasnya kekuasaan Wangsa Sailendra. Sebelum perluasan
ini, berita Cina dari Dinasti Sung Awal (420-470 M) menyebut Jawa dengan
sebutan She-p’o, akan tetapi kemudian berita-berita Cina dari Dinasti T’ang
(618-906 M) menyebut Jawa dengan sebutan Ho-ling sampai tahun 818. Namun
penyebutan Jawa dengan She-p’o kembali muncul pada 820-856 M.
Sumber sejarah :
Nama Kerajaan Ho-ling sempat
tercatat dalam kronik dinasti T’ang yang memerintah Cina pada 618-906 M.
Menurut catatan kronik tersebut, penduduk Ho-ling biasa makan tanpa menggunakan
sendok atau cupit, melainkan dengan jari-jari tangannya saja, dan gemar minum
semacam tuak yang mereka buat dari getah bunga pohon kelapa (aren). Ibukota
Kerajaan Ho-ling dikelilingi pagar dari kayu. Raja mendiami istana yang
bertingkat dua yang beratapkan daun palma. Raja duduk di atas bangku yang
terbuat dari gading, memergunakan juga tikar yang terbuat dari kulit bambu.
Dicatat pula bahwa Ho-ling mempunyai sebuah bukit yang disebut Lang-pi-ya, yang
sering dikunjungi raja untuk melihat laut.
Mengenai Kerajaan Ho-ling,
terdapat sumber lain selain kronik dari Dinasti Tang. Seorang pendeta Budha
bernama I-tsing, menyatakan bahwa dalam tahun 664 M telah datang seorang
pendeta bernama Hwi-Ning di Ho-ling, dan tinggal di situ selama 3 tahun. Dengan
bantuan Pendeta Ho-ling, Jnanabhadra, ia menerjemahkan berbagai kitab suci
agama Budha Hinayana. (Soekmono, 1973:37).
Letak Kerajaan Ho-ling :
Ada dua sumber Cina yang
berasal dari Dinasti T’ang memberikan arahan tentang Kerajaan Ho-ling. Kedua
versi tersebut yaitu berita Cina Ch’iu-tang dan Hsin T’ang Shu. Kedua versi
tersebut memberitakan tentang Ho-ling sebagai berikut: “Ho-ling yang juga
disebut She-p’o terletak di lautan selatan. Sebelah timurnya terletak P’o-li
dan disebelah baratnya terletak To-p’o-teng. Di sebelah selatannya ialah lautan
dan disebelah utaranya ialah Chen-la”.
Dalam berita-berita Tionghoa dari jaman pemerintahan raja-raja T’ang (618-906 M) ada disebut nama Kerajaan Kaling atau Ho-ling. Letaknya di Jawa Tengah. Tanahnya sangat kaya, dan di situ pula ada sumber air asin. Rakyatnya hidup makmur dan tentram
Sumber lain menyebutkan sebuah analisa berdasarkan sumber Cina. Prof. NJ Kroom berpendapat bahwa pada akhir abad ke VII ada sebuah ratu yang memegang tampuk pemerintahan. Prof. NJ Kroom menunjuk bahwa letak Kerajaan Ho-ling berlokasi di Jawa Tengah. Jika memadukan pendapat Prof. NJ. Kroom dan kronik dari dinasti T’ang yang menyebut bukit Lang-pi-ya untuk melihat laut, maka besar kemungkinan Ho-ling berada di sekitar pesisir atau di Jawa Tengah bagian pesisir utara. Penyelidikan Drs. Pitono menyimpulkan bahwa Kerajaan Ho-ling kemungkinan terletak antara Pudakpayung-Salatiga.
Tentang Lang-pi-ya disebutkan
oleh penulis Hsin-tang-su, bahwa di sana apabila pada pertengahan musim panas
orang mendirikan gnomon setinggi 8 kaki, bayangannya akan jatuh di sebelah
selatannya dan panjangnya dua kaki empat inci. Berdasarkan panjang bayangan
yang jatuh dari tingginya gnomon tersebut, bisa dihitung bahwa letak Ho-ling
berada pada 6˚ 8’ LU. Dilihat dari perkiraan tersebut, dapat diambil kesimpulan
bahwa letak Kerajaan Ho-ling tidak di Jawa. Akan tetapi penulis Hsin-tang-su
tersebut telah membuat dua kekeliruan. Pertama, semestinya penghitungan
bayangan dilakukan pada pertengan musin dingin. Kedua, jatuhnya bayangan ada di
sebelah utaranya. Jika pembenaran ini bisa diterima, maka letak Ho-ling berada
di 6 ˚ 8’ LS, jadi di pantai utara Pulau Jawa. Koreksi tersebut sesuai dengan
lokalisasi Lang-pi-ya yang terletak di Desa Krapyak dekat Gunung Lasem.
Koreksi tersebut dikuatkan
dengan adanya seorang pendeta Budha bernama I-tsing yang menyatakan bahwa dalam
tahun 664 M telah datang seorang pendeta bernama Hwi-Ning di Ho-ling, dan
tinggal di situ selama 3 tahun. Dengan bantuan Pendeta Ho-ling, Jnanabhadra, ia
menerjemahkan berbagai kitab suci agama Budha Hinayana (Soekmono, 1973:37).
Dari bukti yang dibawa I-Tsing ini dapat ditarik kesimpulan bahwa di Jawa dalam
tahun 664 M terdapat sebuah kerajaan yang menganut ajaran murni Budhis dan
menjadi populer. Kerajaan tersebut bernama Kerajaan Kalingga yang terletak di
Jawa Tengah (kira-kira di wilayah Kecamatan Keling Kelep, Kabupaten Jepara
sekarang ini) (http://www.dhammacakka.or.id/). Bahkan ada sumber yang
mengatakan bahwa Kerajaan Ho-ling merupakan cikal bakal Jepara.
Tentang Ratu Shimo (pemerintahan) :
Tentang Ratu Shimo (pemerintahan) :
Pada 674-675 M (tepatnya tahun
674 M) rakyat Ho-ling memilih dan mengangkat seorang ratu bernama Si-mo. Konon
ratu ini memerintah dengan sangat kerasnya, namun bijaksana sehingga Ho-linG menjadi negara yang aman.
Pemerintahan Ratu Si-mo ditandai oleh terlaksananya pemerintahan dengan segala disiplin tinggi. Peraturan ditegakkan dengan sebenar-benarnya. Ada sebuah kisah yang menceritakan tentang ketat dan disiplinnya pemerintahan di Kerajaan Ho-ling. Ada seorang raja yang bermaksud untuk menyerang Ho-ling. Dia terlebih dulu mencoba mengamati situasi Kerajaan Ho-ling dengan cara meletakkan pundi-pundi uang emas di tengah jalan. Konon warga Ho-ling terkenal dengan kejujurannya, bahkan barang-barang yang terjatuh tidak ada yang berani untuk mengambilnya. Raja tersebut bernama Ta-shih. Selama 3 tahun barang tersebut aman di jalan dan secara tidak sengaja putra mahkota menginjak barang tersebut. Maka ratu memerintahkan untuk menghukum mati putra mahkota, tetapi para menteri mohon ampun padanya dan keputusan diubah dengan memotong kakinya, karena kakinya yang bersalah. Tak berhenti sampai di situ saja, para menteri juga memohon ampun lagi sehingga hanya jari-jari kakinya saja yang dipotong. Mengetahui hal itu, raja Ta-shih mengurungkan niatnya utnuk menyerang Kerajaan Ho-ling.
Raja tinggal di kota She-p’o. Tetapi leluhurnya yang bernama Ki-yen telah memindahkan pusat kerajaan ke timur, ke kota P’o-lu-Chia-ssu. Di sekeliling She-p’o terdapat 28 kerajaan kecil yang tunduk pada She-p’o. Menurut berita dari Ying-huan-tche-lio, perpindahan tersebut terjadi pada masa T’ien-pao tahun 742-755 M.
Pemerintahan Ratu Si-mo ditandai oleh terlaksananya pemerintahan dengan segala disiplin tinggi. Peraturan ditegakkan dengan sebenar-benarnya. Ada sebuah kisah yang menceritakan tentang ketat dan disiplinnya pemerintahan di Kerajaan Ho-ling. Ada seorang raja yang bermaksud untuk menyerang Ho-ling. Dia terlebih dulu mencoba mengamati situasi Kerajaan Ho-ling dengan cara meletakkan pundi-pundi uang emas di tengah jalan. Konon warga Ho-ling terkenal dengan kejujurannya, bahkan barang-barang yang terjatuh tidak ada yang berani untuk mengambilnya. Raja tersebut bernama Ta-shih. Selama 3 tahun barang tersebut aman di jalan dan secara tidak sengaja putra mahkota menginjak barang tersebut. Maka ratu memerintahkan untuk menghukum mati putra mahkota, tetapi para menteri mohon ampun padanya dan keputusan diubah dengan memotong kakinya, karena kakinya yang bersalah. Tak berhenti sampai di situ saja, para menteri juga memohon ampun lagi sehingga hanya jari-jari kakinya saja yang dipotong. Mengetahui hal itu, raja Ta-shih mengurungkan niatnya utnuk menyerang Kerajaan Ho-ling.
Raja tinggal di kota She-p’o. Tetapi leluhurnya yang bernama Ki-yen telah memindahkan pusat kerajaan ke timur, ke kota P’o-lu-Chia-ssu. Di sekeliling She-p’o terdapat 28 kerajaan kecil yang tunduk pada She-p’o. Menurut berita dari Ying-huan-tche-lio, perpindahan tersebut terjadi pada masa T’ien-pao tahun 742-755 M.
Mata pencaharian :
Kerajaan Ho-ling mempunyai
hasil bumiberupa kulit penyu, emas dan perak, cula badak dan gading. Ada sebuah
gua yang selalu mengeluarkan air garam yang disebut sebagai bledug. Penduduk
menghasilkan garam dengan memanfaatkan sumber air garam yang disebut sebagai
bledug tersebut.
Keagamaan :
Keagamaan :
Salah satu sumber yang
berbicara tentang keagamaan Kerajaan Ho-ling adalah sumber Cina yang berasal
dari catatan perjalanan I-tsing, seorang pendeta agama Budha dari Cina dan
kronik Dinasti Sung. Dikatakan bahwa pada 664-667 M, pendeta Budha Cina bernama
Hwu-ning dengan pembantunya Yun-ki datang ke Ho-ling. Di sana kedua pendeta
tersebut bersama-sama dengan Joh-na po-t’o-lo menerjemahkan Kitab Budha bagian
Nirwana. Terjemahan inilah yang dibawa pulang ke Cina. Menurut I-tsing, Kitab
suci Budha yang diterjemahkan tersebut sangat berbeda dengan kitab Suci Budha
Mahayana. Menurut catatan Dinasti Sung yang memerintah setelah Dinasti T’ang,
terbukti bahwa terjemahan yang diterjemahkan Hwu-Ning dengan Yun-ki bersama
dengan Njnanabhdra itu adalah kitab Nirwana bagian akhir yang menceritakan
tentang pembakaran jenazah sang Budha, dengan sisa tulang yang tidak habis
terbakar dikumpulkan untuk dijadikan relik suci. Dengan demikian jelas bahwa
Ho-ling tidak menganut agama Budha aliran Mahayana, tetapi menganut agama Budha
Hinayana aliran Mulasarastiwada. Kronik Dinasti Sung juga menyebutkan bahwa
yang memimpin dan mentahbiskan Yun-ki menjadi pendeta Budha adalah Njnanabhadra.
Hubungan dengan negeri luar :
Hubungan dengan negeri luar :
Pada masa Chen-kuang (627-649
M) raja Ho-ling bersama dengan raja To-ho-lo To-p’o-teng, menyerahkan upeti ke
Cina. Kaisar Cina mengirimkan balasan yang dengan dibubuhi cap kerajaan dan
raja To-ho-lo meminta kuda-kuda yang terbaik dan dikabulkan oleh kaisar Cina.
Kemudian Kerajaan Ho-ling mengirimkan utusan (upeti lagi) pada 666 M, 767 M dan
768 M. Utusan yang datang pada 813 M (atau 815 M) datang dengan mempersembahkan
empat budak sheng-chih (jenggi), burung kakatua, dan burung p’in-chiat (?) dan
benda-benda lainnya. Kaisar amat berkenan hatinya sehingga memberikan gelar
kehormatan kepada utusan tersebut. Utusan itu mohon supaya gelar tersebut
diberikan saja kepada adiknya. Kaisar amat terkesan dengan sikap itu dan
memberikan gelar kehormatan kepada keduanya. Sampai dengan tahun 813 M, Ho-ling
masih mengirim utusan ke negeri Cina dengan membawa “hadiah” berupa empat orang
budak Sen-ki, burung kakatua, dan sejumlah jenis burung lainnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar