Alkisah, Ajisaka datang dari negeri Atas Angin ke Jawa, yang
ketika itu Jawa tengah dikuasai raksasa buas bernama Dewatacengkar. Tiap hari
ia minta disediakan seorang pemuda untuk disantap. Ketika semua pemuda telah
habis disantap, datanglah Ajisaka bersama dua orang pengiringnya.
Setelah mendengar keluhan rakyat, Ajisaka bersedia dijadikan santapan raksasa Dewatacengkar. Sebelum
berangkat menemui sang raksasa, Ajisaka
menyimpan keris pusakanya di suatu tempat dan menyuruh salah seorang
pengikutnya untuk menjaga keris
tersebut. Ia berpesan agar tak seorang pun boleh mengambil keris
tersebut, kecuali Ajisaka sendiri. Kepada
Dewatacengkar, Ajisaka bersedia menjadi santapan asal raksasa tersebut
mau menghadiahi Ajisaka tanah selebar ikat kepala yang dipakainya. Setelah raksasa menyanggupi, Ajisaka
melepaskan ikat kepalanya lalu
meletakkannya di atas tanah. Tak diduga, ikat kepala itu ternyata melebar dan
terus melebar sehingga Dewatacengkar harus menyingkir dan terus mundur ke
selatan hingga jatuh ke jurang di pantai selatan Jawa. Raja raksasa itu pun
mati, Ajisaka kemudian menjadi raja.
Setelah menjadi raja, Ajisaka teringat akan kerisnya, lalu ia mengutus salah seorang
pengi- ringnya untuk mengambil keris. Setelah sampai di
tempat penyimpanan keris, si penjaga,
me- nolak menyerahkan keris karena telah berjanji bahwa Ajisakalah yang boleh
mengambil, bukan pengiringnya.
Terjadilah perkelahian antara dua
pengiring Ajisaka tersebut hingga keduanya tewas. Mereka mati dalam rangka yang
sama: menuruti perintah majikannya.
Tragedi itu mem- buat Ajisaka
bersedih. Untuk memperingati dan mengenang kedua pengiring setianya itu, ia menciptakan 20 buah aksara, yang kini
dikenal sebagai huruf Jawa, yaitu: ha, na, ca, ra, ka, da, ta, sa,
wa, la, pa, dha, ja, ya, nya, ma, ga, ba, tha, nga. Bila dibaca beruturan maka
akan terbentuk kalimat yang artinya: ada utusan (hana caraka), terjadi
perselisihan (data sawala), sama sama sakti (padha jayanya), tewas keduanya
(maga bathanga).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar