Pages

Jumat, 11 September 2020

PEMBERONTAKAN PRRI, PERMESTA DAN PERSOALAN NEGARA FEDERAL DAN BFO

 ANCAMAN DISINTEGRASI BERKAITAN DENGAN SISTEM PEMERINTAHAN Berdasarkan hasil Konferensi Meja Bundar(KMB), negara Republik  Indonesia berbentuk Federal dengan nama RIS ( Republik Indonesia Serikat) . Bentuk pemerintahan Federal hanya berlangsung selama 8 bulan. Negara-negara bagian yang tergabung dalam BFO (Bijeenkoms Federal Overleg) menunjukkan ketidakpuasan terhadap bentuk negara Federal. Indonesiapun akhirnya pada 17 Agustus 1950 berubah kenegara kesatuan (NKRI). Meskipun demikian , bentuk pemerintahan seperti itu masih menimbulkan ketidakpuasan rakyat diberbagai daerah yang mengakibatkan terjadinya pergolakan daerah yang hampir memicu disintegrasi bangsa. Pergolakan itu diantaranya :

baca juga : glosarium, istilah Sejarah dan penjelasannya

A. PEMBERONTAKAN PRRI

Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (biasa disingkat dengan PRRI) merupakan salah satu gerakan pertentangan antara pemerintah daerah dengan pemerintah pusat (Jakarta) yang dideklarasikan pada tanggal 15 Februari 1958 dengan keluarnya ultimatum dari Dewan Perjuangan yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Ahmad Husein di PadangSumatra BaratIndonesia.

Gerakan ini mendapat sambutan dari wilayah Sulawesi Utara dan Sulawesi Tengah, di mana pada tanggal 17 Februari 1958 kawasan tersebut menyatakan mendukung PRRI.

Konflik yang terjadi ini sangat dipengaruhi oleh tuntutan pemberlakuan otonomi daerah yang lebih luas. Ultimatum tersebut bukan tuntutan pembentukan negara baru maupun pemberontakan, tetapi lebih merupakan protes mengenai bagaimana konstitusi dijalankan.  Pada masa bersamaan kondisi pemerintahan di Indonesia masih belum stabil pasca-agresi Belanda. Hal ini juga memengaruhi hubungan pemerintah pusat dengan daerah serta menimbulkan berbagai ketimpangan dalam pembangunan, terutama pada daerah-daerah di luar pulau Jawa.


Baca juga: Bank soal Sejarah Indonesia Part V


Bibit-bibit konflik tersebut mulai terjadi sejak dikeluarkannya Perda No. 50 tahun 1950 tentang pembentukan wilayah otonom oleh provinsi Sumatra Tengah waktu itu yang mencakup wilayah provinsi Sumatra BaratRiau yang kala itu masih mencakup wilayah Kepulauan Riau, dan Jambi sekarang.

Bagaimanapun, pertentangan ini dianggap sebagai sebuah pemberontakan oleh pemerintah pusat, yang menganggap ultimatum itu merupakan proklamasi pemerintahan tandingan, dan kemudian ditumpas dengan pengerahan kekuatan militer terbesar yang pernah tercatat dalam sejarah militer Indonesia. Semua tokoh PRRI adalah para pejuang kemerdekaan, pendiri dan pembela NKRI. Sebagaimana ditegaskan Ahmad Husein dalam rapat Penguasa Militer di Istana Negara April 1957; Landasan perjuangan daerah tetap Republik Proklamasi dan berkewajiban untuk menyelamatkan Negara Kesatuan Republik Indonesia tercinta.

Gerakan ini bermula dari acara reuni Divisi Banteng di Padang pada tanggal 20-25 November 1956. Dari pertemuan tersebut di hasilkan perlunya Otonomi Daerah agar bisa menggali potensi dan kekayaan Daerah dan disetujui pula pembetukan Dewan Banteng yang dipimpin oleh Letkol Ahmad Husein komandan resimen IV dan tetorium I yang berkedudukan di Padang. Namun upaya ini gagal.

Pada tanggal 20 Desember 1956.Letkol Ahmad Husein merebut kekuasaan Pemerintah daerah dari Gubernur Ruslan Muljohardjo. Dalihnya Gubernur yang ditunjuk Pemerintah tidak berhasil menjalankan pembangunan Daerah. Di samping itu di berbagai Daerah muncul pula dewan-dewan lain yakni:

  • Dewan Gajah di Sumatra Utara pimpinan Kolonel Maludin Simbolon
  • Dewan Garuda di Sumatra Selatan pimpinan Letkol R. Barlian
  • Dewan Manguni di Sulawesi Utara pimpinan Letkol Ventje Sumual.

Untuk menyelesaikan permasalahan yang terjadi, pemerintah pusat mengadakan musyawarah nasional pada September tahun 1957. Kemudian Musyawarah Nasional Pembangunan pada November 1957 yang bertujuan mempersiapkan pembangunan di daerah secara integral. Namun tetap saja gagal bahkan semakin memanas.

Pengumumannya

Selanjutnya diadakan rapat raksasa di PadangLetkol Ahmad Husein selaku pimpinan mengeluarkan ultimatum yang isinya agar Kabinet Djuanda menyerahkan mandatnya kepada Presiden dengan waktu 5 X 24 jam dan Presiden diminta kembali kepada kedudukan konstitusionalnya. Ultimatum ini ditolak oleh Pemerintah Pusat, bahkan Ahmad Husein dan kawan-kawannya dipecat dari Angkatan Darat. Pada tanggal 15 Februari 1958 Letkol Ahmad Husein mengumumkan berdirinya Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia di Padang. Pemerintah tersebut membuat Kabinet dengan Syafruddin Prawiranegara sebagai Perdana Menterinya

Sebab berdirinya PRRI

Sebab berdirinya PRRI adalah tuntutan otonomi luas dan kekecewaan terhadap pemerintah pusat karena dianggap telah melanggar undang-undang. Juga pemerintah yang cenderung sentralis, sehingga pembangunan di daerah menjadi terabaikan

Operasi Militer

Pemerintah Pusat menganggap gerakan tersebut harus segera ditumpas dengan kekuatan senjata. Lantas Pemerintah melakukan operasi gabungan yang terdiri dari Angkatan DaratLaut, dan Udara. Operasi pun dilancarkan sebagai berikut:

1. Operasi tegas dengan sasaran Riau

2. Operasi 17 Agustus pimpinan Kolonel Ahmad Yani

3. Operasi sapta marga

4. Operasi sadar di bawah pimpinan letkol DrIbnu Sutowo

Dalam waktu singkat banyak pimpinan PRRI yang menyerahkan diri pada 29 Mei 1961 Ahmad Husein menyerahkan diri dan berakhirlah pemberontakan PRRI

 

Kabinet PRRI terdiri dari:

  • Mr. Sjafruddin Prawiranegara sebagai Perdana Menteri merangkap Menteri Keuangan,
  • Mr. Assaat Dt. Mudo sebagai Menteri Dalam Negeri, Dahlan Djambek sempat memegangnya sebelum Mr. Assaat sampai di Padang,
  • Kol. Maludin Simbolon sebagai Menteri Luar Negeri,
  • Prof. Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo sebagai Menteri Perhubungan dan Pelayaran,
  • Muhammad Sjafei sebagai Menteri PPK dan Kesehatan,
  • J.F. Warouw sebagai Menteri Pembangunan,
  • Saladin Sarumpaet sebagai Menteri Pertanian dan Perburuhan,
  • Muchtar Lintang sebagai Menteri Agama,
  • Saleh Lahade sebagai Menteri Penerangan,
  • Abdul Gani Usman sebagai Menteri Sosial,
  • Kol. Dahlan Djambek sebagai Menteri Pos dan Telekomunikasi setelah Mr. Assaat sampai di Padang

 

Pasca-PRRI

Peristiwa ini belakangan menyebabkan timbulnya eksodus besar-besaran suku Minangkabau ke daerah lain.  Menurut catatan Dr. Mochtar Naim dalam bukunya, Merantau: Pola Migrasi Suku Minangkabau (1984), sebelum terjadinya peristiwa PRRI, jumlah orang Minang di Jakarta diperkirakan kurang dari seratus ribu orang, tetapi setelah peristiwa tersebut, jumlahnya meningkat menjadi beberapa ratus ribu. Bahkan menurut perkiraan Gubernur jakarta pada tahun 1971 sudah terdapat sekitar setengah juta orang Minang di Jakarta.

Selain itu juga menimbulkan efek psikologis yang besar pada sebagian besar masyarakat Minangkabau masa tersebut, yaitu melekatnya stigma pemberontak, padahal kawasan Minangkabau sejak zaman Belanda termasuk kawasan yang gigih menentang kolonial serta kawasan Indonesia yang setia dan banyak melahirkan pemimpin-pemimpin nasionalis yang penting selama masa pra kemerdekaan. Selain beberapa tindakan kekerasan yang dialami oleh masyarakat juga menguncang harga diri, harkat dan martabat yang begitu terhina dan dihinggapi mentalitas orang kalah  serta trauma atas kekalahan PRRI. Sampai hari ini para pelaku peristiwa PRRI tetap menolak dianggap sebagai pemberontak atas tindakan yang mereka lakukan. 

B. PEMBERONTAKAN PERMESTA

Letkol Ventje Sumual (tirto.id - Jumat, 2 Maret 1957) tepat pukul 03.00 dini hari di Makassar, Letkol Ventje Sumual membacakan naskah proklamasi dalam situasi yang disebutnya Staat van Oorlog en Beleg (SOB), artinya “negara dalam keadaan darurat perang”. Proklamasi inilah yang kemudian menandai gerakan serius bernama Perjuangan Rakyat Semesta atau Permesta. Buku-buku sejarah untuk anak-anak sekolah acapkali menyebut Permesta sebagai usaha pemberontakan, label serupa yang juga dilekatkan untuk beberapa peristiwa lainnya yang sebenarnya masih menjadi misteri. Benarkah Permesta adalah upaya wilayah timur untuk melepaskan diri dari Republik Indonesia? Letkol Ventje Sumual selaku salah satu tokoh sentral dalam gerakan Permesta menyangkal tudingan tersebut. Kendati begitu, jika pun disebut sebagai pemberontak, ia tidak pernah merasa menyesal telah memproklamirkan gerakan Permesta. Pledoi Sang Proklamator Dalam proklamasi yang dibacakan Ventje Sumual pada 2 Maret 1957 itu, tidak ada kata-kata yang merujuk pada upaya memerdekakan diri. Bahkan, teks yang dirumuskan oleh para perwira Teritorium VII/Wirabuana yang menaungi kawasan Indonesia Timur itu diawali dengan penggalan kalimat “Demi keutuhan Republik Indonesia….” dan seterusnya. Proklamasi Permesta tersebut hanya menyatakan seluruh wilayah Teritorium VII dalam keadaan darurat perang. Situasi seperti ini memungkinkan untuk memberlakukan pemerintahan militer sesuai Pasal 128 Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) 1950 dan Peraturan Pemerintah No. 33 Tahun 1948. Alinea ketiga proklamasi Permesta bahkan menyebutkan: “Segala peralihan dan penyesuaiannya dilakukan dalam waktu sesingkat-singkatnya dalam arti tidak, ulangi, tidak melepaskan diri dari Republik Indonesia.” Kata “ulangi” yang sengaja diselipkan di situ bisa dimaknai sebagai penegasan bahwa Permesta bukan gerakan separatis. Permesta oleh Ventje Sumual disamakan dengan gerakan reformasi 1998 yang sama-sama bertujuan menginginkan perubahan, “Permesta bukan pemberontakan, melainkan suatu deklarasi politik. Isinya seperti yang diperjuangkan gerakan reformasi. Dulu, gerakan reformasi kami sebut sebagai Permesta,” ujarnya kepada Tempo pada April 2009. Ventje Sumual bahkan mengklaim deklarasi Permesta tidak ditentang oleh A.H. Nasution dan Ahmad Yani, dua petinggi militer Republik Indonesia, yang berkunjung ke Makassar pada Mei 1957. “Saya setuju dengan isi Permesta. Ini untuk kepentingan prajurit, tapi tidak usah berpolitik,” sebut Nasution menurut Ventje Sumual. Dicetuskan Permesta beriringan dengan dibentuknya Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Sumatera Barat. Bahkan, kedua gerakan ini sering disebut saling melengkapi dan mendukung satu sama lain. Tapi Ventje Sumual menyangkal dan menyebut PRRI memang gerakan pemberontakan, tapi tidak dengan Permesta. “Tidak ada hubungan apa-apa. Kalau PRRI memang pemberontakan. Tapi Permesta hanyalah suatu program untuk pembangunan Indonesia Timur,” elaknya. Ia bersikukuh bahwa Permesta digagas demi keadilan bagi masyarakat Indonesia timur dengan menginginkan otonomi wilayah yang lebih luas. PRRI semula sebenarnya juga menuntut hal yang sama. Namun, PRRI lebih “berani” dengan membentuk pemerintahan baru lengkap dengan kabinet beserta jajaran menterinya. Cara bermain Permesta cenderung halus. Tak ada susunan kabinet, melainkan hanya seksi-seksi yang membawahi berbagai aspek kehidupan, dari politik, tata negara, hukum, keamanan, ekonomi dan pembangunan, pangan, pendidikan, kebudayaan, kesehatan, perburuhan, perhubungan, pekerjaan umum, pertanian, penerangan dan informasi, agama, pemuda, veteran, dan seterusnya. Sekali lagi, benarkah gerakan Permesta bukan pemberontakan? Gara-gara Pemerintah dan PKI Wilayah Indonesia Timur saat itu disebut dalam keadaan darurat perang. Ventje Sumual dan kawan-kawan punya alasan kuat atas kesimpulan tersebut. Selain persoalan ekonomi, ancaman disintegrasi dari sejumlah daerah di Sulawesi dan Maluku juga mulai muncul. “Daripada berdiri sendiri, semua saya ambil-alih, dan Permesta sebagai simbol perjuangan. Nah, melihat situasi yang ada, saya lalu menyatakan Indonesia Timur dalam keadaan darurat perang,” ujar Ventje Sumual. Ventje Sumual menyebut, deklarasi Permesta kemudian dikondisikan oleh pemerintah pusat menjadi sebuah ancaman, seperti halnya PRRI di Indonesia barat, “Pemerintah yang kemudian ingin memecah-belah. Jadi, seolah-olah ada dua pemberontakan, PRRI di Sumatera dan Permesta di Sulawesi.” Yang terjadi kemudian adalah digerakkannya operasi militer oleh Angkatan Perang Republik Indonesia (APRI) atas perintah pemerintah pusat ke Sulawesi untuk memadamkan Permesta. Pemerintah mengerahkan sektor darat, laut, maupun udara untuk merebut daerah-daerah yang telah dikuasai oleh kubu Permesta. Permesta sendiri tidak hanya diperkuat oleh unsur militer dari Indonesia Timur. Tidak sedikit laskar rakyat, bahkan gerombolan pemberontak yang sebenarnya seperti Pasukan Pembela Keadilan (PPK) pimpinan Jan Timbuleng, Laskar Sambar Njawa, dan lainnya, yang bergabung untuk menghadapi APRI. Pasukan Permesta sempat membuat APRI sangat kewalahan. Ventje Sumual bahkan yakin, pihaknya akan dapat menduduki Jakarta sebagai pusat pemerintahan RI. Menurutnya, Jakarta adalah titik kunci. “Setelah menguasai Banjarmasin (Kalimantan Selatan), sebetulnya mudah saja untuk menguasai Jakarta,” katanya. “Yang dibutuhkan adalah lapangan terbang Kemayoran. Dari situ, tinggal mengebom kilang minyak di Tanjung Priok. Kalau kilang minyak sudah dibom, Jakarta dan Bandung akan lumpuh,” lanjutnya. Di titik inilah Permesta, yang semula cuma pernyataan politik demi menuntut keadilan, mulai mengarah pada aksi yang lebih serius karena berencana merebut Jakarta, pusat kedudukan pemerintah. Bukankah ini suatu bentuk pemberontakan? Tapi Ventje Sumual punya pembenaran. “Tuntutan kami ke pemerintah pusat dijawab dengan bom di Ambon. Dan kami menegaskan, kalau Kabinet Djuanda (1957-1959) tidak dibubarkan, kami tidak akan menaati pemerintah pusat lagi. Menurut kami, kabinet itu dibentuk secara inkonstitusional!” dalihnya. Para perwira militer di Indonesia Timur juga mencemaskan pengaruh orang-orang Partai Komunis Indonesia (PKI) yang semakin kuat di pemerintahan. Itulah yang menjadi alasan bagi Permesta untuk mengobarkan perang melawan pemerintah pusat. Ventje Sumual mengatakan, sebagai prajurit pejuang, mereka tidak bisa berpangku tangan melihat keadaan saat itu. “PKI ketika itu mulai membesar. Bung Karno membentuk Dewan Nasional yang salah satu kakinya adalah komunis!” tukasnya. “Kami ingin komunisme dihapus dari Indonesia. Kalau saja usaha PRRI/Permesta berhasil, pemberontakan PKI pada 1965 tidak akan terjadi,” lanjut Ventje Sumual. Usaha mendekatkan diri kepada pemerintah seperti yang dilakukan PKI, salah satu parpol terbesar pada Pemilu 1955, adalah halal dalam politik. Ventje Sumual menyesalkan terjadinya pemberontakan PKI pada 1965, tapi ia dan Permesta justru sudah melakukannya terlebih dulu. Pengakuan Tanpa Penyesalan Gerakan Permesta memperoleh bantuan dari sejumlah negara asing, seperti Taiwan, Jepang, Filipina, dan terutama Amerika Serikat, yang sama-sama anti-komunis. Terkait ini, Ventje Sumual memberikan jawaban yang cenderung kontradiktif dengan pernyataan-pernyataan sebelumnya terkait tudingan pemberontakan. Amerika tidak membantu, tapi memanfaatkan Permesta untuk kepentingan mereka sendiri. “Setelah terbukti bahwa Jakarta masih kuat dan perwira Angkatan Darat seperti Nasution dan Yani bukanlah komunis, mereka meninggalkan kami begitu saja,” sebut Ventje Sumual. “Memang, kalau mereka (Amerika) tidak pergi, saya yakin kami akan berhasil merebut Jakarta. Paling lama, kami akan menghabiskan waktu sekitar 2 bulan untuk menguasai seluruh Indonesia,” imbuhnya. Pernyataan kali ini jelas menunjukkan bahwa Permesta memang berniat memberontak, bahkan ingin menguasai wilayah NKRI dengan mengharapkan bantuan dari Amerika Serikat. Dan, Ventje Sumual akhirnya mengaku, tapi bukan untuk melawan pemerintahan yang sah. Permesta tidak pernah berniat melengserkan Sukarno, hanya menginginkan keadilan, serta menyingkirkan PKI. “Ya, saya mengaku. Tapi saya memberontak terhadap kezaliman. Dan perlu saya tegaskan lagi, saya tidak pernah menyesal pernah menjadi pemberontak!” Ventje Sumual menyerah tanpa syarat pada 1961 dan mendekam di Rumah Tahanan Militer di Jakarta. Ia langsung dibebaskan begitu Soeharto memegang kendali pemerintahan RI sejak 1966. Setelah itu, kehidupan Ventje Sumual jauh lebih baik, ia memimpin perusahaan dan aktif di beberapa yayasan di bawah naungan Orde Baru. Ventje Sumual menikmati masa-masa makmur itu hingga wafat pada 28 Maret 2010 di Jakarta dalam usia 86 tahun. 

 

 C. PERSOALAN NEGARA FEDERAL DAN BFO

Konsep Negara Federal dan "Persekutuan" Negara Bagian (BFO/ Bijeenkomst Federal Overleg) mau tidak mau menimbulkan potensi perpecahan di kalangan bangsa Indonesia sendiri setelah kemerdekaan. Persaingan yang timbul terutama adalah antara golongan federalis yang ingin bentuk negara federal tetap dipertahankan dengan golongan unitaris yang ingin Indonesia menjadi negara kesatuan.

Tokoh BFO

Hubertus Johannes van Mook (lahir di Semarang, 30 Mei 1894 -- meninggal di L'Illa de Srga, Perancis, 10 Mei 1965 pada umur 70 tahun) secara de facto adalah Gubernur-Jenderal Hindia Belanda (pangkat sesungguhnya adalah Letnan Gubernur Jenderal) yang terakhir yang menjabat setelah Jepang menguasai Hindia Belanda.

Setelah menyelesaikan pendidikan dasar HBS di Soerabaja, van Mook pindah ke Belanda untuk melanjutkan pendidikan tinggi teknik di Delft. Tahun 1914 sempat masuk dinas ketentaraan sukarela dan melanjutkan studi tentang Indonesia di Universitas Leiden pada tahun 1916 dan lulus tahun 1918. Setelah itu, ia kembali ke Hindia Belanda dan ditugaskan menjadi inspektur mengurusi distribusi pangan di Semarang. Tahun 1921 menjadi penasihat urusan pertanahan di Yogyakarta. Tahun 1927 menjadi asisten residen urusan kepolisian di Batavia. Dalam tahun 1930-an dia menjadi ketua departemen urusan ekonomi. Tanggal 20 November 1941 van Mook diangkat menjadi Menteri Urusan Tanah Jajahan (Minister of Colonies). Saat Jepang mendarat di Jawa, van Mook mengungsi ke Australia, sementara Gubernur-Jenderal Tjarda van Starkenborgh Stachouwer tetap berada di Indonesia. Tjarda van Starkenborgh ditawan Jepang, kemudian dibawa ke Manchuria dan baru dilepaskan pada bulan September 1945. Pada tahun-tahun akhir Perang Pasifik van Mook yang berada di Australia tetap menyandang pangkat Letnan Gubernur Jenderal meskipun secara de facto bertindak selaku Gubernur Jenderal karena Tjarda van Starkenborgh Stachouwer ditawan Jepang dan setelah dibebaskan diangkat menjadi Duta Besar Belanda di Perancis. Pangkat van Mook tetap Letnan Gubernur Jenderal tetapi secara de facto dia melakukan tugas sebagai Gubernur Jenderal. Dia menjabat dari tanggal 14 September 1944 sampai 1 November 1948. Pada tahun 1949 van Mook menjadi profesor tamu di Universitas California dan pada tahun 1951 van Mook bekerja di Perserikatan Bangsa-Bangsa sebagai pakar pengembangan kawasan. Sejak 1960 van Mook memilih menetap di L'Illa de Sorga, Perancis sampai akhir hayatnya, tahun 1965.

 

BFO dan Pemasalahannya

Permasalahan ini muncul sejak Perundingan Linggarjati disetujui dan ditanda tangani dan di perparah dengan penandatanganan perundingan yang lainnya, seperti Roem-Royen. Konsep Negara Federal dan "Persekutuan" Negara Bagian (BFO/Bijeenkomst Federal Overleg) mau tidak mau menimbulkan potensi perpecahan di kalangan bangsa Indonesia sendiri setelah kemerdekaan.  Persaingan yang timbul terutama adalah antara golongan federalis yang ingin bentuk negara federal dipertahankan dengan golongan unitaris yang ingin Indonesia menjadi negara kesatuan.

Dalam konferensi Malino di Sulawesi Selatan pada 24 Juli 1946 misalnya, pertemuan untuk membicarakan tatanan federal yang diikuti oleh wakil dari berbagai daerah non RI itu, ternyata mendapat reaksi keras dari para politisi pro RI yang ikut serta. Mr. Tadjudin Noor dari Makasar bahkan begitu kuatnya mengkritik hasil konferensi.

Perbedaan keinginan agar bendera Merah-Putih dan lagu Indonesia Raya digunakan atau tidak oleh Negara Indonesia Timur (NIT) juga menjadi persoalan yang tidak bisa diputuskan dalam konferensi. Kabinet NIT juga secara tidak langsung ada yang jatuh karena persoalan negara federal ini (1947).

Perjanjian Linggarjati

Perjanjian Linggarjati sebagaimana kita ketahui memiliki dampak negatif khususnya bagi rakyat indonesia dan hal ini menimbulkan pro dan kontra di kalangan masyarakat Indonesia, contohnya beberapa partai seperti Partai Masyumi, PNI, Partai Rakyat Indonesia, dan Partai Rakyat Jelata. Partai-partai tersebut menyatakan bahwa perjanjian itu adalah bukti lemahnya pemerintahan Indonesia untuk mempertahankan kedaulatan negara Indonesia. Untuk menyelesaikan permasalahan ini, pemerintah mengeluarkan Peraturan Presiden No. 6/1946, dimana bertujuan menambah anggota Komite Nasional Indonesia Pusat agar pemerintah mendapat suara untuk mendukung perundingan linggarjati.

Perundingan Roem Royem

Meskipun kemerdekaan Indonesia telah diproklamasikan, Belanda tetap saja tidak mau mengakui kelahiran negara indonesia. Dan Belanda pun membuat negara boneka yang bertujuan mempersempit wilayah kekuasaan Republik Indonesia. Negara boneka tersebut dipimpin oleh Van Mook. Dan Belanda mengadakan konferensi pembentukan Badan Permusyawaratan Federal (BFO) 27 Mei 1948.

Pada tanggal 19 Desember 1948, Belanda mengadakan Agresi Militer Belanda dengan menyerang kota Yogyakarta dan menawan Presiden dan Wakil Presiden beserta pejabat lainnya. Namun sebelum itu Presiden mengirimkan radiogram kepada Mr. Syafrudin Prawiranegara yang mengadakan perjalanan di Sumatera untuk membentuk Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI).


Konferensi Inter Indonesia

Merupakan konferensi yang berlangsung antara negara Republik Indonesia dengan negara-negara boneka atau negara bagian bentukkan Belanda yang tergabung dalam BFO. Pada awalnya pembentukkan BFO ini diharapkan oleh Belanda akan mempermudah Belanda untuk kembali berkuasa di Indonesia. Namun sikap negara-negara yang tergabung dalam BFO berubah setelah Belanda melancarkan agresi militernya yang kedua terhadap Indonesia. Karena simpati dari negara-negara BFO ini maka pemimpin-pemimpin Republik Indonesia dapat dibebaskan dan BFO jugalah yang turut berjasa dalam terselenggaranya Konferensi Inter-Indonesia. Hal itulah yang melatarbelakangi dilaksanakannya Konferensi Inter-Indonesia pada bulan Juli 1949.

BFO yang didirikan di Bandung pada 29 Mei 1948 merupakan lembaga permusyawaratan dari negara-negara federal yang memisahkan dari RI. Perdana Menteri negara Pasundan, Mr. Adil Poeradiredja, dan Perdana Menteri Negara Indonesia Timur, Gede Agung, memainkan peran penting dalam pembentukan BFO.

Dalam tubuh BFO juga terjadi pertentangan. Sejak pembentukannya di Bandung pada bulan Juli 1948, BFO telah terpecah ke dalam dua kubu. Kelompok pertama menolak kerjasama dengan Belanda dan lebih memilih RI untuk diajak bekerjasama membentuk Negara Indonesia Serikat. Kubu ini dipelopori oleh Ide Anak Agung Gde Agung (NIT) serta R.T. Adil Puradiredja dan R.T. Djumhana (Negara Pasundan). Kubu kedua dipimpin oleh Sultan Hamid II (Pontianak) dan dr. T. Mansur (Sumatera Timur).

Setelah Konferensi Meja Bundar atau KMB (1949), persaingan antara golongan federalis dan unitaris makin lama makin mengarah pada konflk terbuka di bidang militer, pembentukan Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS) telah menimbulkan masalah psikologis. Salah satu ketetapan dalam KMB menyebutkan bahwa inti anggota APRIS diambil dari TNI, sedangkan lainnya diambil dari personel mantan anggota KNIL. TNI sebagai inti APRIS berkeberatan bekerjasama dengan bekas musuhnya, yaitu KNIL. Sebaliknya anggota KNIL menuntut agar mereka ditetapkan sebagai aparat negara bagian dan mereka menentang masuknya anggotaTNI ke negara bagian (TaufiAbdullah danAB Lapian, 2012.).
 

DAFTAR PUSTAKA
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (ed.).2018. Buku Pelajaran Sejarah Indonesia
untuk SMA Kelas 3. Jakarta
https://id.wikipedia.org/wiki/Majelis_Permusyawaratan_Federal
https://id.wikipedia.org/wiki/Hubertus_Johannes_van_Mook

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

POSTINGAN UNGGULAN

KISI-KISI SEJARAH X SOAL AKM

  CONTOH KISI -KISI SOAL AKM KLS X  MATA PELAJARAN IPS SEJARAH TAHUN 2022-2023