baca juga : glosarium, istilah Sejarah dan penjelasannya
A. PEMBERONTAKAN PRRI
Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (biasa
disingkat dengan PRRI) merupakan salah satu gerakan
pertentangan antara pemerintah daerah dengan pemerintah pusat (Jakarta) yang dideklarasikan pada
tanggal 15 Februari 1958 dengan
keluarnya ultimatum dari Dewan Perjuangan yang dipimpin oleh
Letnan Kolonel Ahmad Husein di Padang, Sumatra Barat, Indonesia.
Gerakan ini mendapat sambutan dari wilayah Sulawesi Utara dan Sulawesi Tengah, di mana pada tanggal 17 Februari 1958 kawasan
tersebut menyatakan mendukung PRRI.
Konflik yang terjadi ini sangat dipengaruhi oleh tuntutan
pemberlakuan otonomi daerah yang
lebih luas. Ultimatum tersebut bukan tuntutan pembentukan negara baru maupun
pemberontakan, tetapi lebih merupakan protes mengenai bagaimana konstitusi
dijalankan. Pada masa bersamaan kondisi
pemerintahan di Indonesia masih belum stabil pasca-agresi Belanda. Hal ini juga
memengaruhi hubungan pemerintah pusat dengan daerah serta menimbulkan berbagai
ketimpangan dalam pembangunan, terutama pada daerah-daerah di luar pulau Jawa.
Baca juga: Bank soal Sejarah Indonesia Part V
Bibit-bibit konflik tersebut mulai terjadi sejak
dikeluarkannya Perda No. 50 tahun 1950 tentang pembentukan wilayah otonom oleh
provinsi Sumatra Tengah waktu itu yang mencakup wilayah provinsi Sumatra Barat, Riau yang
kala itu masih mencakup wilayah Kepulauan Riau, dan Jambi sekarang.
Bagaimanapun, pertentangan ini dianggap sebagai sebuah
pemberontakan oleh
pemerintah pusat, yang menganggap ultimatum itu merupakan proklamasi
pemerintahan tandingan, dan kemudian ditumpas dengan pengerahan kekuatan
militer terbesar yang pernah tercatat dalam sejarah militer Indonesia. Semua
tokoh PRRI adalah para pejuang kemerdekaan, pendiri dan pembela NKRI. Sebagaimana ditegaskan Ahmad Husein dalam rapat Penguasa
Militer di Istana Negara April 1957; Landasan perjuangan
daerah tetap Republik
Proklamasi dan berkewajiban untuk menyelamatkan Negara Kesatuan
Republik Indonesia tercinta.
Gerakan ini bermula dari acara reuni Divisi Banteng di Padang pada tanggal 20-25 November 1956.
Dari pertemuan tersebut di hasilkan perlunya Otonomi Daerah agar bisa menggali
potensi dan kekayaan Daerah dan
disetujui pula pembetukan Dewan Banteng yang dipimpin oleh Letkol Ahmad Husein komandan resimen IV dan
tetorium I yang berkedudukan di Padang. Namun upaya ini gagal.
Pada tanggal 20 Desember 1956.Letkol Ahmad Husein merebut kekuasaan Pemerintah daerah dari Gubernur Ruslan Muljohardjo.
Dalihnya Gubernur yang ditunjuk Pemerintah tidak berhasil menjalankan
pembangunan Daerah. Di samping itu di berbagai Daerah
muncul pula dewan-dewan lain yakni:
- Dewan
Gajah di Sumatra Utara pimpinan Kolonel Maludin Simbolon
- Dewan
Garuda di Sumatra Selatan pimpinan Letkol R.
Barlian
- Dewan
Manguni di Sulawesi Utara pimpinan Letkol Ventje Sumual.
Untuk menyelesaikan permasalahan yang terjadi, pemerintah
pusat mengadakan musyawarah nasional pada September tahun 1957.
Kemudian Musyawarah Nasional Pembangunan pada November 1957 yang
bertujuan mempersiapkan pembangunan di daerah secara integral. Namun tetap saja
gagal bahkan semakin memanas.
Pengumumannya
Selanjutnya diadakan rapat raksasa di Padang. Letkol Ahmad Husein selaku pimpinan
mengeluarkan ultimatum yang isinya agar Kabinet Djuanda menyerahkan mandatnya
kepada Presiden dengan waktu 5 X 24 jam dan Presiden diminta kembali kepada
kedudukan konstitusionalnya. Ultimatum ini ditolak oleh Pemerintah
Pusat, bahkan Ahmad Husein dan kawan-kawannya dipecat dari Angkatan Darat. Pada tanggal 15 Februari
1958 Letkol Ahmad Husein mengumumkan berdirinya Pemerintahan Revolusioner
Republik Indonesia di Padang. Pemerintah tersebut membuat Kabinet dengan Syafruddin
Prawiranegara sebagai Perdana Menterinya
Sebab berdirinya PRRI
Sebab berdirinya PRRI adalah
tuntutan otonomi luas dan kekecewaan terhadap pemerintah pusat karena dianggap
telah melanggar undang-undang. Juga pemerintah yang cenderung sentralis,
sehingga pembangunan di daerah menjadi terabaikan
Operasi Militer
Pemerintah Pusat menganggap
gerakan tersebut harus segera ditumpas dengan kekuatan senjata. Lantas Pemerintah melakukan operasi gabungan yang terdiri
dari Angkatan Darat, Laut, dan Udara. Operasi pun dilancarkan sebagai
berikut:
1. Operasi tegas dengan sasaran Riau
2. Operasi 17 Agustus pimpinan Kolonel Ahmad Yani
3. Operasi sapta marga
4. Operasi sadar di bawah pimpinan letkol Dr. Ibnu Sutowo
Dalam waktu singkat banyak pimpinan PRRI yang menyerahkan diri
pada 29 Mei 1961 Ahmad Husein menyerahkan diri dan
berakhirlah pemberontakan PRRI
Kabinet PRRI terdiri dari:
- Mr. Sjafruddin
Prawiranegara sebagai Perdana Menteri merangkap Menteri
Keuangan,
- Mr. Assaat Dt. Mudo sebagai Menteri
Dalam Negeri, Dahlan Djambek sempat
memegangnya sebelum Mr. Assaat sampai
di Padang,
- Kol. Maludin Simbolon sebagai
Menteri Luar Negeri,
- Prof.
Dr. Soemitro
Djojohadikoesoemo sebagai Menteri Perhubungan dan
Pelayaran,
- Muhammad Sjafei sebagai
Menteri PPK dan Kesehatan,
- J.F. Warouw sebagai Menteri
Pembangunan,
- Saladin Sarumpaet sebagai Menteri Pertanian
dan Perburuhan,
- Muchtar
Lintang sebagai Menteri Agama,
- Saleh Lahade sebagai Menteri
Penerangan,
- Abdul
Gani Usman sebagai Menteri Sosial,
- Kol. Dahlan Djambek sebagai Menteri
Pos dan Telekomunikasi setelah Mr. Assaat sampai di Padang
Pasca-PRRI
Peristiwa ini belakangan menyebabkan timbulnya eksodus
besar-besaran suku Minangkabau ke
daerah lain. Menurut catatan Dr. Mochtar Naim dalam bukunya, Merantau:
Pola Migrasi Suku Minangkabau (1984), sebelum terjadinya peristiwa
PRRI, jumlah orang Minang di Jakarta diperkirakan kurang dari seratus ribu
orang, tetapi setelah peristiwa tersebut, jumlahnya meningkat menjadi beberapa
ratus ribu. Bahkan menurut perkiraan Gubernur jakarta pada tahun 1971 sudah
terdapat sekitar setengah juta orang Minang di Jakarta.
Selain itu juga menimbulkan efek psikologis yang besar pada sebagian besar masyarakat Minangkabau masa tersebut, yaitu melekatnya stigma pemberontak, padahal kawasan Minangkabau sejak zaman Belanda termasuk kawasan yang gigih menentang kolonial serta kawasan Indonesia yang setia dan banyak melahirkan pemimpin-pemimpin nasionalis yang penting selama masa pra kemerdekaan. Selain beberapa tindakan kekerasan yang dialami oleh masyarakat juga menguncang harga diri, harkat dan martabat yang begitu terhina dan dihinggapi mentalitas orang kalah serta trauma atas kekalahan PRRI. Sampai hari ini para pelaku peristiwa PRRI tetap menolak dianggap sebagai pemberontak atas tindakan yang mereka lakukan.
B. PEMBERONTAKAN PERMESTA
Letkol Ventje Sumual (tirto.id - Jumat, 2 Maret 1957) tepat
pukul 03.00 dini hari di Makassar, Letkol Ventje Sumual membacakan naskah
proklamasi dalam situasi yang disebutnya Staat van Oorlog en Beleg (SOB),
artinya “negara dalam keadaan darurat perang”. Proklamasi inilah yang kemudian
menandai gerakan serius bernama Perjuangan Rakyat Semesta atau Permesta.
Buku-buku sejarah untuk anak-anak sekolah acapkali menyebut Permesta sebagai
usaha pemberontakan, label serupa yang juga dilekatkan untuk beberapa peristiwa
lainnya yang sebenarnya masih menjadi misteri. Benarkah Permesta adalah upaya
wilayah timur untuk melepaskan diri dari Republik Indonesia? Letkol Ventje
Sumual selaku salah satu tokoh sentral dalam gerakan Permesta menyangkal
tudingan tersebut. Kendati begitu, jika pun disebut sebagai pemberontak, ia
tidak pernah merasa menyesal telah memproklamirkan gerakan Permesta. Pledoi
Sang Proklamator Dalam proklamasi yang dibacakan Ventje Sumual pada 2 Maret
1957 itu, tidak ada kata-kata yang merujuk pada upaya memerdekakan diri.
Bahkan, teks yang dirumuskan oleh para perwira Teritorium VII/Wirabuana yang
menaungi kawasan Indonesia Timur itu diawali dengan penggalan kalimat “Demi
keutuhan Republik Indonesia….” dan seterusnya. Proklamasi Permesta tersebut
hanya menyatakan seluruh wilayah Teritorium VII dalam keadaan darurat perang.
Situasi seperti ini memungkinkan untuk memberlakukan pemerintahan militer
sesuai Pasal 128 Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) 1950 dan Peraturan
Pemerintah No. 33 Tahun 1948. Alinea ketiga proklamasi Permesta bahkan
menyebutkan: “Segala peralihan dan penyesuaiannya dilakukan dalam waktu
sesingkat-singkatnya dalam arti tidak, ulangi, tidak melepaskan diri dari
Republik Indonesia.” Kata “ulangi” yang sengaja diselipkan di situ bisa dimaknai
sebagai penegasan bahwa Permesta bukan gerakan separatis. Permesta oleh Ventje
Sumual disamakan dengan gerakan reformasi 1998 yang sama-sama bertujuan
menginginkan perubahan, “Permesta bukan pemberontakan, melainkan suatu
deklarasi politik. Isinya seperti yang diperjuangkan gerakan reformasi. Dulu,
gerakan reformasi kami sebut sebagai Permesta,” ujarnya kepada Tempo pada April
2009. Ventje Sumual bahkan mengklaim deklarasi Permesta tidak ditentang oleh
A.H. Nasution dan Ahmad Yani, dua petinggi militer Republik Indonesia, yang
berkunjung ke Makassar pada Mei 1957. “Saya setuju dengan isi Permesta. Ini
untuk kepentingan prajurit, tapi tidak usah berpolitik,” sebut Nasution menurut
Ventje Sumual. Dicetuskan Permesta beriringan dengan dibentuknya Pemerintahan
Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Sumatera Barat. Bahkan, kedua gerakan
ini sering disebut saling melengkapi dan mendukung satu sama lain. Tapi Ventje
Sumual menyangkal dan menyebut PRRI memang gerakan pemberontakan, tapi tidak
dengan Permesta. “Tidak ada hubungan apa-apa. Kalau PRRI memang pemberontakan.
Tapi Permesta hanyalah suatu program untuk pembangunan Indonesia Timur,”
elaknya. Ia bersikukuh bahwa Permesta digagas demi keadilan bagi masyarakat
Indonesia timur dengan menginginkan otonomi wilayah yang lebih luas. PRRI
semula sebenarnya juga menuntut hal yang sama. Namun, PRRI lebih “berani”
dengan membentuk pemerintahan baru lengkap dengan kabinet beserta jajaran
menterinya. Cara bermain Permesta cenderung halus. Tak ada susunan kabinet, melainkan
hanya seksi-seksi yang membawahi berbagai aspek kehidupan, dari politik, tata
negara, hukum, keamanan, ekonomi dan pembangunan, pangan, pendidikan,
kebudayaan, kesehatan, perburuhan, perhubungan, pekerjaan umum, pertanian,
penerangan dan informasi, agama, pemuda, veteran, dan seterusnya. Sekali lagi,
benarkah gerakan Permesta bukan pemberontakan? Gara-gara Pemerintah dan PKI
Wilayah Indonesia Timur saat itu disebut dalam keadaan darurat perang. Ventje
Sumual dan kawan-kawan punya alasan kuat atas kesimpulan tersebut. Selain
persoalan ekonomi, ancaman disintegrasi dari sejumlah daerah di Sulawesi dan
Maluku juga mulai muncul. “Daripada berdiri sendiri, semua saya ambil-alih, dan
Permesta sebagai simbol perjuangan. Nah, melihat situasi yang ada, saya lalu
menyatakan Indonesia Timur dalam keadaan darurat perang,” ujar Ventje Sumual.
Ventje Sumual menyebut, deklarasi Permesta kemudian dikondisikan oleh
pemerintah pusat menjadi sebuah ancaman, seperti halnya PRRI di Indonesia
barat, “Pemerintah yang kemudian ingin memecah-belah. Jadi, seolah-olah ada dua
pemberontakan, PRRI di Sumatera dan Permesta di Sulawesi.” Yang terjadi
kemudian adalah digerakkannya operasi militer oleh Angkatan Perang Republik
Indonesia (APRI) atas perintah pemerintah pusat ke Sulawesi untuk memadamkan
Permesta. Pemerintah mengerahkan sektor darat, laut, maupun udara untuk merebut
daerah-daerah yang telah dikuasai oleh kubu Permesta. Permesta sendiri tidak
hanya diperkuat oleh unsur militer dari Indonesia Timur. Tidak sedikit laskar rakyat,
bahkan gerombolan pemberontak yang sebenarnya seperti Pasukan Pembela Keadilan
(PPK) pimpinan Jan Timbuleng, Laskar Sambar Njawa, dan lainnya, yang bergabung
untuk menghadapi APRI. Pasukan Permesta sempat membuat APRI sangat kewalahan.
Ventje Sumual bahkan yakin, pihaknya akan dapat menduduki Jakarta sebagai pusat
pemerintahan RI. Menurutnya, Jakarta adalah titik kunci. “Setelah menguasai
Banjarmasin (Kalimantan Selatan), sebetulnya mudah saja untuk menguasai
Jakarta,” katanya. “Yang dibutuhkan adalah lapangan terbang Kemayoran. Dari
situ, tinggal mengebom kilang minyak di Tanjung Priok. Kalau kilang minyak
sudah dibom, Jakarta dan Bandung akan lumpuh,” lanjutnya. Di titik inilah
Permesta, yang semula cuma pernyataan politik demi menuntut keadilan, mulai
mengarah pada aksi yang lebih serius karena berencana merebut Jakarta, pusat
kedudukan pemerintah. Bukankah ini suatu bentuk pemberontakan? Tapi Ventje
Sumual punya pembenaran. “Tuntutan kami ke pemerintah pusat dijawab dengan bom
di Ambon. Dan kami menegaskan, kalau Kabinet Djuanda (1957-1959) tidak
dibubarkan, kami tidak akan menaati pemerintah pusat lagi. Menurut kami,
kabinet itu dibentuk secara inkonstitusional!” dalihnya. Para perwira militer
di Indonesia Timur juga mencemaskan pengaruh orang-orang Partai Komunis
Indonesia (PKI) yang semakin kuat di pemerintahan. Itulah yang menjadi alasan
bagi Permesta untuk mengobarkan perang melawan pemerintah pusat. Ventje Sumual
mengatakan, sebagai prajurit pejuang, mereka tidak bisa berpangku tangan
melihat keadaan saat itu. “PKI ketika itu mulai membesar. Bung Karno membentuk
Dewan Nasional yang salah satu kakinya adalah komunis!” tukasnya. “Kami ingin
komunisme dihapus dari Indonesia. Kalau saja usaha PRRI/Permesta berhasil,
pemberontakan PKI pada 1965 tidak akan terjadi,” lanjut Ventje Sumual. Usaha
mendekatkan diri kepada pemerintah seperti yang dilakukan PKI, salah satu
parpol terbesar pada Pemilu 1955, adalah halal dalam politik. Ventje Sumual
menyesalkan terjadinya pemberontakan PKI pada 1965, tapi ia dan Permesta justru
sudah melakukannya terlebih dulu. Pengakuan Tanpa Penyesalan Gerakan Permesta
memperoleh bantuan dari sejumlah negara asing, seperti Taiwan, Jepang,
Filipina, dan terutama Amerika Serikat, yang sama-sama anti-komunis. Terkait
ini, Ventje Sumual memberikan jawaban yang cenderung kontradiktif dengan
pernyataan-pernyataan sebelumnya terkait tudingan pemberontakan. Amerika tidak
membantu, tapi memanfaatkan Permesta untuk kepentingan mereka sendiri. “Setelah
terbukti bahwa Jakarta masih kuat dan perwira Angkatan Darat seperti Nasution
dan Yani bukanlah komunis, mereka meninggalkan kami begitu saja,” sebut Ventje
Sumual. “Memang, kalau mereka (Amerika) tidak pergi, saya yakin kami akan
berhasil merebut Jakarta. Paling lama, kami akan menghabiskan waktu sekitar 2
bulan untuk menguasai seluruh Indonesia,” imbuhnya. Pernyataan kali ini jelas
menunjukkan bahwa Permesta memang berniat memberontak, bahkan ingin menguasai
wilayah NKRI dengan mengharapkan bantuan dari Amerika Serikat. Dan, Ventje
Sumual akhirnya mengaku, tapi bukan untuk melawan pemerintahan yang sah.
Permesta tidak pernah berniat melengserkan Sukarno, hanya menginginkan
keadilan, serta menyingkirkan PKI. “Ya, saya mengaku. Tapi saya memberontak
terhadap kezaliman. Dan perlu saya tegaskan lagi, saya tidak pernah menyesal
pernah menjadi pemberontak!” Ventje Sumual menyerah tanpa syarat pada 1961 dan
mendekam di Rumah Tahanan Militer di Jakarta. Ia langsung dibebaskan begitu
Soeharto memegang kendali pemerintahan RI sejak 1966. Setelah itu, kehidupan
Ventje Sumual jauh lebih baik, ia memimpin perusahaan dan aktif di beberapa
yayasan di bawah naungan Orde Baru. Ventje Sumual menikmati masa-masa makmur
itu hingga wafat pada 28 Maret 2010 di Jakarta dalam usia 86 tahun.
C. PERSOALAN NEGARA FEDERAL DAN BFO
Konsep Negara Federal dan "Persekutuan" Negara Bagian (BFO/
Bijeenkomst Federal Overleg) mau tidak mau menimbulkan potensi perpecahan di
kalangan bangsa Indonesia sendiri setelah kemerdekaan. Persaingan yang timbul
terutama adalah antara golongan federalis yang ingin bentuk negara federal tetap
dipertahankan dengan golongan unitaris yang ingin Indonesia menjadi negara
kesatuan.
Tokoh BFO
Hubertus Johannes van Mook (lahir di Semarang, 30 Mei
1894 -- meninggal di L'Illa de Srga, Perancis, 10 Mei 1965 pada umur
70 tahun) secara de facto adalah Gubernur-Jenderal Hindia Belanda (pangkat
sesungguhnya adalah Letnan Gubernur Jenderal) yang terakhir yang menjabat
setelah Jepang menguasai Hindia Belanda.
Setelah menyelesaikan pendidikan dasar HBS di Soerabaja, van
Mook pindah ke Belanda untuk melanjutkan pendidikan tinggi teknik di Delft.
Tahun 1914 sempat masuk dinas ketentaraan sukarela dan melanjutkan studi
tentang Indonesia di Universitas Leiden pada tahun 1916 dan lulus tahun 1918.
Setelah itu, ia kembali ke Hindia Belanda dan ditugaskan menjadi inspektur
mengurusi distribusi pangan di Semarang. Tahun 1921 menjadi penasihat urusan
pertanahan di Yogyakarta. Tahun 1927 menjadi asisten residen urusan kepolisian
di Batavia. Dalam tahun 1930-an dia menjadi ketua departemen urusan ekonomi. Tanggal
20 November 1941 van Mook diangkat menjadi Menteri Urusan Tanah Jajahan
(Minister of Colonies). Saat Jepang mendarat di Jawa, van Mook mengungsi ke
Australia, sementara Gubernur-Jenderal Tjarda van Starkenborgh Stachouwer tetap
berada di Indonesia. Tjarda van Starkenborgh ditawan Jepang, kemudian dibawa ke
Manchuria dan baru dilepaskan pada bulan September 1945. Pada tahun-tahun akhir
Perang Pasifik van Mook yang berada di Australia tetap menyandang pangkat
Letnan Gubernur Jenderal meskipun secara de facto bertindak selaku Gubernur
Jenderal karena Tjarda van Starkenborgh Stachouwer ditawan Jepang dan setelah
dibebaskan diangkat menjadi Duta Besar Belanda di Perancis. Pangkat van Mook
tetap Letnan Gubernur Jenderal tetapi secara de facto dia melakukan tugas
sebagai Gubernur Jenderal. Dia menjabat dari tanggal 14 September 1944 sampai 1
November 1948. Pada tahun 1949 van Mook menjadi profesor tamu di Universitas
California dan pada tahun 1951 van Mook bekerja di Perserikatan Bangsa-Bangsa
sebagai pakar pengembangan kawasan. Sejak 1960 van Mook memilih menetap di
L'Illa de Sorga, Perancis sampai akhir hayatnya, tahun 1965.
BFO dan Pemasalahannya
Permasalahan ini muncul sejak Perundingan Linggarjati
disetujui dan ditanda tangani dan di perparah dengan penandatanganan
perundingan yang lainnya, seperti Roem-Royen. Konsep Negara Federal dan
"Persekutuan" Negara Bagian (BFO/Bijeenkomst Federal Overleg) mau
tidak mau menimbulkan potensi perpecahan di kalangan bangsa Indonesia sendiri
setelah kemerdekaan. Persaingan yang timbul terutama adalah antara
golongan federalis yang ingin bentuk negara federal dipertahankan dengan
golongan unitaris yang ingin Indonesia menjadi negara kesatuan.
Dalam konferensi Malino di Sulawesi Selatan pada 24 Juli
1946 misalnya, pertemuan untuk membicarakan tatanan federal yang diikuti oleh
wakil dari berbagai daerah non RI itu, ternyata mendapat reaksi keras dari para
politisi pro RI yang ikut serta. Mr. Tadjudin Noor dari Makasar bahkan begitu
kuatnya mengkritik hasil konferensi.
Perbedaan keinginan agar bendera Merah-Putih dan lagu
Indonesia Raya digunakan atau tidak oleh Negara Indonesia Timur (NIT) juga
menjadi persoalan yang tidak bisa diputuskan dalam konferensi. Kabinet NIT juga
secara tidak langsung ada yang jatuh karena persoalan negara federal ini
(1947).
Perjanjian Linggarjati
Perjanjian Linggarjati sebagaimana kita ketahui memiliki
dampak negatif khususnya bagi rakyat indonesia dan hal ini menimbulkan pro dan
kontra di kalangan masyarakat Indonesia, contohnya beberapa partai seperti
Partai Masyumi, PNI, Partai Rakyat Indonesia, dan Partai Rakyat Jelata.
Partai-partai tersebut menyatakan bahwa perjanjian itu adalah bukti lemahnya
pemerintahan Indonesia untuk mempertahankan kedaulatan negara Indonesia. Untuk
menyelesaikan permasalahan ini, pemerintah mengeluarkan Peraturan Presiden No.
6/1946, dimana bertujuan menambah anggota Komite Nasional Indonesia Pusat agar pemerintah
mendapat suara untuk mendukung perundingan linggarjati.
Perundingan Roem Royem
Meskipun kemerdekaan Indonesia telah diproklamasikan,
Belanda tetap saja tidak mau mengakui kelahiran negara indonesia. Dan Belanda
pun membuat negara boneka yang bertujuan mempersempit wilayah kekuasaan
Republik Indonesia. Negara boneka tersebut dipimpin oleh Van Mook. Dan Belanda
mengadakan konferensi pembentukan Badan Permusyawaratan Federal (BFO) 27 Mei
1948.
Pada tanggal 19 Desember 1948, Belanda mengadakan Agresi
Militer Belanda dengan menyerang kota Yogyakarta dan menawan Presiden dan Wakil
Presiden beserta pejabat lainnya. Namun sebelum itu Presiden mengirimkan
radiogram kepada Mr. Syafrudin Prawiranegara yang mengadakan perjalanan di
Sumatera untuk membentuk Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI).
Konferensi Inter Indonesia
Merupakan konferensi yang berlangsung antara negara Republik
Indonesia dengan negara-negara boneka atau negara bagian bentukkan Belanda yang
tergabung dalam BFO. Pada awalnya pembentukkan BFO ini diharapkan oleh Belanda
akan mempermudah Belanda untuk kembali berkuasa di Indonesia. Namun sikap
negara-negara yang tergabung dalam BFO berubah setelah Belanda melancarkan
agresi militernya yang kedua terhadap Indonesia. Karena simpati dari negara-negara
BFO ini maka pemimpin-pemimpin Republik Indonesia dapat dibebaskan dan BFO
jugalah yang turut berjasa dalam terselenggaranya Konferensi Inter-Indonesia.
Hal itulah yang melatarbelakangi dilaksanakannya Konferensi Inter-Indonesia
pada bulan Juli 1949.
BFO yang didirikan di Bandung pada 29 Mei 1948 merupakan
lembaga permusyawaratan dari negara-negara federal yang memisahkan dari RI.
Perdana Menteri negara Pasundan, Mr. Adil Poeradiredja, dan Perdana Menteri
Negara Indonesia Timur, Gede Agung, memainkan peran penting dalam pembentukan
BFO.
Dalam tubuh BFO juga terjadi pertentangan. Sejak
pembentukannya di Bandung pada bulan Juli 1948, BFO telah terpecah ke dalam dua
kubu. Kelompok pertama menolak kerjasama dengan Belanda dan lebih memilih RI
untuk diajak bekerjasama membentuk Negara Indonesia Serikat. Kubu ini
dipelopori oleh Ide Anak Agung Gde Agung (NIT) serta R.T. Adil Puradiredja dan
R.T. Djumhana (Negara Pasundan). Kubu kedua dipimpin oleh Sultan Hamid II
(Pontianak) dan dr. T. Mansur (Sumatera Timur).
Setelah Konferensi Meja Bundar atau KMB (1949), persaingan
antara golongan federalis dan unitaris makin lama makin mengarah pada konflk
terbuka di bidang militer, pembentukan Angkatan Perang Republik Indonesia
Serikat (APRIS) telah menimbulkan masalah psikologis. Salah satu ketetapan
dalam KMB menyebutkan bahwa inti anggota APRIS diambil dari TNI, sedangkan
lainnya diambil dari personel mantan anggota KNIL. TNI sebagai inti APRIS
berkeberatan bekerjasama dengan bekas musuhnya, yaitu KNIL. Sebaliknya anggota
KNIL menuntut agar mereka ditetapkan sebagai aparat negara bagian dan mereka
menentang masuknya anggotaTNI ke negara bagian (TaufiAbdullah danAB Lapian,
2012.).
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (ed.).2018. Buku Pelajaran Sejarah
Indonesia
untuk SMA Kelas 3. Jakarta
https://id.wikipedia.org/wiki/Majelis_Permusyawaratan_Federal
https://id.wikipedia.org/wiki/Hubertus_Johannes_van_Mook
Tidak ada komentar:
Posting Komentar