Pages

Rabu, 14 April 2021

KESULTANAN ACEH MELAWAN PEMERINTAH KOLONIAL BELANDA

Wilayah Aceh   memiliki   kedudukan   yang   strategis.   Aceh   menjadi         pusat   perdagangan seperti lada, hasil tambang, serta hasil hutan.  Karena  itu  dalam  rangka  mewujudkan  Pax  Neerlandica,  Belanda  sangat berambisi untuk menguasai Aceh. Kita tahu sejak masa VOC, orang orang
Belanda itu ingin  menguasai  perdagangan  di  Aceh,  begitu  juga  zaman pemerintahan  Hindia Belanda. Tetapi di sisi lain orang-orang Aceh dan para  sultan yang pernah
berkuasa tetap ingin mempertahankan kedaulatan Aceh. Semangat dan tindakan sultan beserta Rakyatnya yang demikian itu memang secara resmi didukung dan dibenarkan oleh adanya
  Traktat  London  tanggal  17  Maret  1824.  Traktat  London  itu  adalah  hasil kesepakatan antara Inggris dan Belanda yang isinya antara lain bahwa Belanda setelah mendapatkan kembali tanah jajahannya di Kepulauan Nusantara, tidak dibenarkan mengganggu kedaulatan Aceh. Dengan isi Traktat London itu secara resmi menjadi kendala bagi Belanda untuk menguasai Aceh. Tetapi secara geografis-politis  Belanda merasa  diuntungkan  karena  kekuatan  Inggris  tidak  lagi  sebagai  penghalang  dan Belanda mulai dapat mendekati wilayah Aceh. Apalagi pada tahun 1825 Inggris sudah menyerahkan Sibolga dan Natal kepada Belanda. Dengan demikian Belanda sudah berhadapan langsung wilayah Kesultanan Aceh. Belanda juga bergerak di wilayah perairan Aceh dan Selat Malaka. Belanda sering menemukan para bajak laut yang mengganggu kapal-kapal asing yang sedang berlayar dan berdagang di perairan Aceh dan Selat Malaka. Dengan alasan menjaga keamanan kapal kapal yang sering diganggu oleh para pembajak maka Belanda menduduki beberapa  daerah  seperti   Baros  dan          Singkel.  Gerakan  menuju  aneksasi  terus diintensifkan. Pada tanggal 1 Februari 1858, Belanda menyodorkan perjanjian dengan Sultan Siak, Sultan Ismail. Perjanjian inilah yang dikenal dengan Traktat Siak. Isinya antara lain Siak mengakui kedaulatan Hindia Belanda di Sumatra Timur. Ini artinya daerah daerah yang berada di bawah pengaruh Siak seperti: Deli, Asahan, Kampar, dan Indragiri  berada  di  bawah  dominasi  Hindia  Belanda.  Padahal  daerah daerah  itu sebenarnya berada di bawah lindungan Kesultanan Aceh.  Tindakan Belanda dan Siak ini tidak diprotes keras oleh Kesultanan Aceh.

Perkembangan  politik  yang  semakin  menohok Kesultanan Aceh   adalah ditandatanganinya Traktat Sumatera antara Belanda dengan Inggris pada tanggal 2 November 1871. Isi Traktat Sumatera itu antara lain Inggris memberi  kebebasan kepada Belanda untuk memperluas daerah kekuasaannya di seluruh Sumatera. Hal ini jelas merupakan ancaman bagi Kesultanan Aceh. Dalam posisi yang terus terancam ini Aceh berusaha mencari sekutu dengan negara-negara lain seperti dengan Turki, Italia bahkan juga melakukan kontak  hubungan dengan Amerika Serikat. Aceh kemudian tahun 1873 mengirim utusan yakni Habib Abdurrahman pergi ke Turki untuk meminta bantuan senjata. Langkah-langkah Aceh itu diketahui oleh Belanda. Oleh karena itu, Belanda mengancam dan mengultimatum agar Kesultanan Aceh tunduk di bawah pemerintahan Hindia Belanda. Aceh tidak akan menghiraukan ultimatum itu. Karena Aceh dinilai membangkang maka pada tanggal 26 Maret 1873, Belanda melalui Komisaris    Nieuwenhuijzen        mengumumkan perang  terhadap Aceh. Pecahlah pertempuran antara Aceh melawan Belanda. Para pejuang Aceh di bawah pemerintahan Sultan Mahmud Syah II mengobarkan semangat jihad angkat senjata untuk melawan kezaliman Belanda. Beberapa persiapan di Aceh sebenarnya sudah dilakukan. Misalnya membangun pos-pos pertahanan. Sepanjang pantai Aceh Besar telah dibangun kuta, yakni semacam benteng untuk memperkuat pertahanan wilayah. Kuta ini dibangun di sepanjang Pantai Aceh Besar seperti Kuta Meugat, Kuta Pohama, Kuta Mosapi dan juga lingkungan istana Kutaraja  dan Masjid Raya Baiturrahman. Jumlah pasukan juga ditingkatkan dan ditempatkan di beberapa tempat strategis. Sejumlah 3000 pasukan disiagakan di pantai dan 4000 pasukan disiagakan di lingkungan istana. Senjata dari luar juga sebagian juga telah berhasil dimasukkan ke Aceh seperti 5000 peti mesiu dan sekitar 1394 peti senapan memperhatian hasil laporan spionase Belanda yang mengatakan bahwa Aceh dalam keadaan  lemah  secara  politik  dan  ekonomi,  membuat  para  pemimpin  Belanda termasuk Kohler optimis bahwa Aceh segera dapat ditundukkan. Oleh karena itu, serangan-serangan tentara Belanda terus diintensifkan. 


Tetapi kenyataannya tidak mudah menundukkan para pejuang Aceh. Dengan  kekuatan yang ada para pejuang Aceh mampu memberikan perlawanan  sengit. Pertempuran terjadi kawasan pantai, kemudian juga di kota, bahkan pada tanggal 14 April 1873 terjadi pertempuran sengit antara pasukan Aceh dibawah pimpinan Teuku Imeum Lueng Bata melawan tentara Belanda di bawah pimpinan Kohler untuk memperebutkan Masjid Raya Baiturrahman. Dalam pertempuran memperebutkan Masjid Raya Baiturrahman ini pasukan Aceh berhasil membunuh Kohler di bawah pohon dekat masjid tersebut. Pohon ini kemudian dinamakan Kohler Boom. Banyak jatuh korban dari pihak Belanda. Begitu juga tidak sedikit korban dari pihak pejuang Aceh yang mati syahid. Terbunuhnya Kohler ini maka pasukan Belanda ditarik mundur ke pantai. Dengan demikian gagallah serangan tentara Belanda yang pertama. Ini membuktikan bahwa tidak mudah untuk segera menundukkan Aceh. Karena kekuatan para pejuang Aceh tidak semata-mata terletak pada kekuatan pasukannya, tetapi juga terkait hakikat kehidupan yang didasarkan pada nilai-nilai agama dan sosial budaya yang sesuai dengan ajaran Al- Qur’an. Doktrin para pejuang Aceh dalam melawan Belanda hanya ada dua pilihan “syahid atau menang”. Dalam hal ini nilai-nilai agama senantiasa menjadi potensi yang sangat  menentukan  dalam  menggerakkan  perlawanan  terhadap  penjajahan  asing. Oleh karena itu, Perang Aceh berlangsung begitu lama. Setelah melipatgandakan kekuatannya, pada tanggal 9 Desember 1873 Belanda melakukan agresi atau serangan yang kedua. Serangan ini dipimpin oleh J. van Swieten. Pertempuran sengit terjadi istana dan juga terjadi di Masjid Raya Baiturrahman. Para pejuang Aceh harus mempertahankan masjid dari serangan Belanda yang bertubi-tubi. Masjid terus dihujani peluru dan kemudian pada tanggal 6 Januari 1874 masjid itu dibakar. Para pejuang  dan ulama kemudian meninggalkan masjid.


Tentara Belanda kemudian   menuju istana. Pada tanggal 15 Januari 1874 Belanda dapat menduduki istana setelah istana dikosongkan, karena Sultan Mahmud Syah II bersama para pejuang yang lain meninggalkan istana menuju ke Leueung Bata dan diteruskan ke Pagar Aye (sekitar 7 km dari pusat kota Banda Aceh). Tetapipada tanggal 28 Januari 1874 sultan meninggal karena wabah kolera.Jatuhnya Masjid Raya Baiturrahman dan istana sultan, Belanda menyatakan bahwa Aceh Besar telah menjadi daerah kekuasaan Belanda. Para ulebalang,ulama dan rakyat tidak ambil pusing dengan pernyataan Belanda. Mereka kemudian mengangkat putra mahkota Muhammad Daud Syah sebagai sultan Aceh. Tetapi karena masih di bawah umur maka diangkatlah Tuanku Hasyim Banta Muda sebagai wali atau pemangku sultan sampai tahun 1884. Pusat pemerintahan di Indrapuri (sekitar 25 km arah tenggara dari pusat kota).   Semangat untuk melanjutkan perang   terus menggelora di berbagai tempat. Pertempuran dengan Belanda semakin meluas ke daerah hulu. Sementara itu tugas van Swieten di Aceh dipandang cukup. Ia digantikan oleh Jenderal Pel. Sebelum Swieten meninggalkan Aceh, ia mengatakan bahwa pemerintah Hindia Belanda akan segera membangun kembali masjid raya yang telah dibakarnya. Tentu hal ini dalam rangka menarik simpati rakyat Aceh. Para pejuang Aceh tidak mengendorkan semangatnya. Di bawah pimpinan ulebalang, ulama dan ketua adat, rakyat Aceh terus mengobarkan perang melawan Belanda. Semangat juang semakin meningkat seiring pulangnya Habib Abdurrahman dari Turki pada tahun 1877. Tokoh ini kemudian menggalang  kekuatan  bersama  Tengku  Cik  Di Tiro.  Pasukannya  terus  melakukan serangan-serangan ke pos-pos Belanda. Kemudian Belanda menambah kekuatannya sehingga dapat mengalahkan serangan – serangan yang dilakukan pasukan Habib Abdurrahman dan Cik Di Tiro. Di bawah pimpinan Van der Heijden,  Belanda berhasil mendesak                          pasukan  Habib  Abdurrahman,  bahkan  Habib  Abdurrahman  akhirnya menyerah kepada Belanda. Sementara Cik Di Tiro mundur ke arah Sigli untuk melanjutkan perlawanan. Belanda berhasil menguasai beberapa daerah seperti Seunaloh, Ansen Batee. Panglima Polim, Tengku Cik Di Tiro memproklamirkan “Ikrar Prang Sabi” (Perang  Sabil). 


perang suci untuk membela agama, perang untuk mempertahankan tanah air, perang jihad untuk melawan kezaliman di muka bumi. Setelah penobatan itu, mengingat keamanan istana di Indrapuri dipindahkan ke Keumala di daerah Pidie (sekitar 25 km sebelah selatan kota Pidie). Dari Istana Keumala inilah semangat Perang Sabil digelorakan. Dengan digelorakan Perang Sabil, perlawanan rakyat Aceh semakin meluas. Apalagi dengan seruan Sultan Muhammad Daud Syah yang menyerukan gerakan amal untuk membiayai perang, telah menambah semangat para pejuang Aceh. Cik Di Tiro mengobarkan perlawanan di Sigli dan Pidie.   Di Aceh bagian barat tampil Teuku Umar beserta isterinya Cut Nyak Dien. Pertempuran sengit terjadi di Meulaboh. Beberapa pos pertahanan Belanda berhasil direbut oleh pasukan Teuku Umar. Pasukan Aceh dengan semangat jihadnya telah  enambah kekuatan untuk melawan Belanda. Belanda mulai kewalahan di berbagai medan pertempuran. Belanda mulai menerapkan strategi baru yang dikenal dengan “Konsentrasi  Stelsel atau Stelsel Konsentrasi”. Strategi Konsentrasi Stelsel itu ternyata juga belum efektif untuk dapat segera menghentikan perang di Aceh. Bahkan dengan strategi itu telah menyebarkan perlawanan rakyat Aceh dari tempat yang satu ke tempat yang lain. Perang gerilya juga mulai dilancarkan oleh para pejuang Gerakan pasukan Teuku Umar juga terus mengalami kemajuan. Pertengahan tahun 1886 Teuku Umar berhasil menyerang dan menyita kapal Belanda Hok Canton yang sedang berlabuh di Pantai Rigaih. Kapten  Hansen (seorang berkebangsaan Denmark) nakhoda kapal yang diberi tugas Belanda   untuk   menangkap   Teuku   Umar   justru   tewas dibunuh oleh Teuku Umar. Ditengah-tengah perjuangan itu pada    tahun    1891   Tengku Cik Di Tiro   meninggal. Perjuangannya melawan Belanda dilanjutkan oleh puteranya yang bernama Tengku Ma Amin Di Tiro. Kemudian terpetik berita bahwa pada tahun 1893 Teuku Umar menyerah kepada Belanda. Teuku Umar kemudian dijadikan panglima tentara Belanda dan diberi gelar Teuku Johan Pahlawan.  Ia diizinkan  untuk  membentuk  kesatuan   tentara beranggotakan 250 orang. Peristiwa ini tentu sangat berpengaruh pada semangat juang rakyat Aceh. Nampaknya Teuku Umar juga tidak serius untuk melawan bangsanya sendiri. Setelah pasukannya sudah mendapatkan banyak senjata dan dipercaya membawa dana 800.000  gulden, pada 29 Maret 1896 Teuku Umar dengan pasukannya berbalik dan   kembali melawan Belanda. 



Peristiwa inilah yang dikenal dengan Het verraad van Teukoe Oemar (Pengkhianatan Teuku Umar). Teuku Umar berhasil menyerang pos-pos Belanda yang ditemui. Peristiwa itu membuat Belanda semakin marah  dan  geram. Sementara  untuk menghadapi  semangat  Perang  Sabil Belanda juga semakin kesulitan. Oleh karena itu tidak ada pilihan lain untuk melaksanakan usulan Snouck Horgronye untuk melawan Aceh dengan kekerasan. Ia mempelajari bahasa, adat istiadat, kepercayaan dan waktu orang-orang Aceh. Hasil kerjanya itu dibukukan dengan judul Rakyat Aceh (De Acehers). Dalam buku itu disebutkan strategi bagaimana untuk menaklukkan Aceh. Usulan strategi Snouck Hurgronje kepada Gubernur  Militer  Belanda 


              Joannes Benedictus van Heutsz adalah, supaya golongan Keumala yaitu Sultan yg berkedudukan di Keumala dengan pengikutnya dikesampingkan dahulu. Tetap menyerang terus & menghantam terus kaum ulama. Jangan mau berunding dengan pimpinan-pimpinan gerilya. Mendirikan pangkalan tetap di Aceh Raya. Menunjukkan niat baik Belanda kepada rakyat Aceh, dengan cara mendirikan langgar, masjid, memperbaiki jalan-jalan irigasi & membantu pekerjaan sosial rakyat Aceh. Ternyata siasat Dr Snouck Hurgronje diterima oleh Van Heutz yg menjadi Gubernur militer & sipil di Aceh. Kemudian Dr Snouck Hurgronje diangkat sebagai penasehatnya. Agresi tentara Belanda terjadi pada tanggal 5 April 1873. Tentara Belanda di bawah pimpinan Jenderal Mayor J.H.R. Kohler terus melakukan serangan terhadap pasukan Aceh. Pasukan Aceh yang terdiri atas para ulebalang, ulama, dan rakyat terus mendapat gempuran dari pasukan Belanda. Belanda segera melaksanakan usulan- usulan Snouck Horgronye tersebut. Belanda harus menggempur Aceh dengan kekerasan dan senjata. Untuk memasuki fase ini dan memimpin perang melawan rakyat Aceh, diangkatlah gubernur militer yang baru yakni  van Heutsz (1898-1904) menggantikan van Vliet. Genderang perang dengan kekerasan di mulai tahun 1899. Perang ini berlangsung 10 tahun. Oleh karena itu, pada periode tahun 1899 – 1909

di Aceh disebut dengan masa sepuluh tahun berdarah (tien bloedige jaren). Semua pasukan   disiagakan   dengan  dibekali  seluruh   persenjataan.  Van   Heutsz  segera melakukan serangan terhadap pos pertahanan para pemimpin perlawanan di berbagai daerah.  Dalam hal ini Belanda juga mengerahkan pasukan  anti gerilya yang disebut Korps Marchausse (Marsose) yakni pasukan yang terdiri dari orang-orang Indonesia yang berada di bawah pimpinan opsiropsir Belanda. Mereka pandai berbahasa Aceh. Dengan demikian mereka dapat bergerak sebagai informan. Dengan kekuatan penuh dan sasaran yang tepat karena adanya informan-informan bayaran, serangan Belanda Berhasil mencerai-beraikan para pemimpin perlawanan. Teuku Umar bergerak menyingkir  ke Aceh bagian barat dan Panglima Polem dapat digiring dan bergerak di   Aceh bagian timur. Di Aceh bagian barat Teuku Umar mempersiapkan pasukannya untuk melakukan penyerangan secara besar-besaran ke arah Meulaboh. Tetap tampaknya persiapan Teuku Umar ini tercium oleh Belanda. Maka Belanda segera menyerang benteng pertahanan Teuku Umar. Terjadilah pertempuran sengit pada Februari 1899. Dalam pertempuran ini Teuku Umar gugur sebagai suhada. Perlawanan dilanjutkan oleh Cut Nyak Dien. Cut Nyak Dien dengan pasukannya memasuki hutan dan mengembangkan perang gerilya.


Baca juga:  soal pilihan ganda pendudukan Jepang bag 2 dan jawabannya   dan soal pilihan ganda pendudukan jepang dan jawabannya bag 3

Perlawanan rakyat Aceh belum berakhir. Para pejuang Aceh di bawah komando sultan dan Panglima Polem terus berkobar. Setelah istana kerajaan di Keumala diduduki Belanda, sultan melakukan perlawanan dengan berpindah-pindah bahkan juga melakukan perang gerilya. Sultan menuju Kuta Sawang kemudian pindah ke Kuta Batee Iliek. Tetapi kuta-kuta ini berhasil diserbu Belanda. Sultan kemudian menyingkir ke Tanah Gayo. Pada tahun berikutnya Belanda menangkap istri sultan, Pocut Murong. Karena  tekanan Belanda yang  terus  menerus,  pada  Januari  1903  Sultan Muhammad         Daud  Syah  terpaksa menyerah. 


Demikian siasat licik dari Belanda. Cara licik ini kemudian juga digunakan untuk mematahkan perlawanan Panglima Polem dan Tuanku Raha Keumala. Istri, ibu dan anak-anak Panglima Polem ditangkap oleh Belanda. 


Dengan tekanan yang bertubi- tubi akhirnya Panglima Polem juga menyerah pada 6 Serptember 1903. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Kerajaan Aceh yang sudah berdiri  sejak 1514 harus berakhir.

Baca juga : 

35 SOAL PILIHAN GANDA DAN ESSAY PRAAKSARA INDONESIA PART 2

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

POSTINGAN UNGGULAN

KISI-KISI SEJARAH X SOAL AKM

  CONTOH KISI -KISI SOAL AKM KLS X  MATA PELAJARAN IPS SEJARAH TAHUN 2022-2023