Pages

Selasa, 20 Oktober 2020

TANAM PAKSA VAN DEN BOSCH ATURAN , PELAKSANAAN , & AKIBATNYA

Sejak awal abad ke-19,  pemerintah Belanda mengeluarkan biaya yang sangat besar untuk membiayai peperangan, baik di Negeri Belanda sendiri (pemberontakan  Belgia) maupun   di Indonesia (terutama  perlawanan Diponegoro)  sehingga  Negeri  Belanda harus  menanggung hutang  yang sangat  besar. Untuk menyelamatkan Negeri Belanda dari bahaya kebrangkrutan maka Johanes van den  Bosch  diangkat  sebagai  gubernur  jenderal  di Indonesia dengan tugas pokok menggali dana semaksimal mungkin untuk mengisi kekosongan kas negara,  membayar  hutang,  dan membiayai perang. Untuk melaksanakan tugas  yang  sangat  berat itu, Van den  Bosch  memusatkan kebijaksanaannya pada peningkatan produksi tanaman ekspor. Oleh karena itu, yang perlu dilakukan ialah mengerahkan tenaga  rakyat jajahan  untuk melakukan  penanaman tanaman yang hasil-hasilnya dapat  laku di pasaran dunia  secara  paksa.  Setelah  tiba  di Indonesia  (1830)  Van  den  Bosch menyusun  program sebagai  berikut.

  1. Sistem  sewa  tanah  dengan  uang  harus  dihapus  karena  pemasukan- nya tidak banyak dan pelaksanaannya sulit.
  2. Sistem tanam  bebas harus  diganti dengan  tanam  wajib dengan  jenis tanaman yang sudah ditentukan  oleh pemerintah.
  3. Pajak atas tanah  harus dibayar dengan  penyerahan sebagian dari hasil tanamannya kepada pemerintah Belanda.


Baca juga:  soal pilihan ganda pendudukan Jepang bag 2 dan jawabannya   dan soal pilihan ganda pendudukan jepang dan jawabannya bag 3


A. Aturan-Aturan Tanam Paksa

Sistem tanam paksa yang diajukan oleh Van den Bosch pada dasarnya merupakan gabungan  dari sistem  tanam  wajib (VOC) dan  sistem  pajak tanah  (Raffles) dengan  ketentuan-ketentuan sebagai berikut.

  1. Penduduk desa yang punya tanah diminta menyediakan seperlima dari tanahnya untuk ditanami tanaman yang laku di pasaran dunia.
  2. Tanah  yang disediakan bebas dari pajak.
  3. Hasil tanaman itu harus  diserahkan  kepada  pemerintah Belanda. Apabila harganya  melebihi pembayaran pajak maka kelebihannya akan dikembalikan  kepada  petani.
  4. Waktu untuk  menanam tidak boleh  melebihi waktu untuk  menanam padi.
  5. Kegagalan  panenan menjadi tanggung  jawab pemerintah.
  6. Wajib tanam  dapat  diganti  dengan  penyerahan tenaga  untuk  di- pekerjakan di pengangkutan, perkebunan, atau di pabrik-pabrik selama 66 hari.
  7. Penggarapan tanaman di bawah  pengawasan langsung  oleh  kepala- kepala pribumi, sedangkan pihak Belanda bertindak sebagai pengawas secara  umum.


B. Pelaksanaan Tanam Paksa

Melihat aturan-aturannya, sistem tanam  paksa tidak terlalu memberatkan, namun pelaksanaannya sangat menekan dan memberatkan rakyat.  Adanya cultuur procent  menyangkut  upah  yang diberikan kepada penguasa pribumi  berdasarkan besar  kecilnya  setoran, ternyata  cukup memberatkan beban rakyat. Untuk mempertinggi upah yang diterima, para penguasa pribumi  berusaha  memperbesar setoran, akibatnya  timbulah penyelewengan - penyelewengan, antara  lain sebagai berikut.

  1. Tanah  yang  disediakan  melebihi 1/5, yakni 1/3 bahkan  1/2, malah ada seluruhnya, karena seluruh  desa dianggap subur untuk tanaman wajib.
  2. Kegagalan  panen  menjadi tanggung  jawab petani.
  3. Tenaga  kerja yang semestinya  dibayar oleh pemerinah tidak dibayar.
  4. Waktu yang dibutuhkan  tenyata  melebihi waktu penanaman padi.
  5. Perkerjaan  di perkebunan atau di pabrik, ternyata  lebih berat daripada di sawah.
  6. Kelebihan hasil yang seharusnya  dikembalikan kepada  petani,  ternyata tidak dikembalikan.

    Baca juga: Bank Soal sejarah Indonesia Part III

   Baca juga ; Bank Soal sejarah Indonesia Paart IV

C. Akibat Tanam Paksa

Pelaksanaan sistem  tanam  paksa  banyak  menyimpang dari  aturan pokoknya dan cenderung  untuk mengadakan eskploitasi agraris semaksimal mungkin. Oleh karena itu, sistem tanam paksa menimbulkan akibat sebagai berikut.

1)   Bagi Indonesia  (Khususnya Jawa)

  1. Sawah ladang  menjadi  terbengkelai  karena  diwajibkan kerja rodi yang berkepanjangan sehingga  penghasilan menurun
  2. Beban rakyat semakin berat karena harus menyerahkan sebagian tanah  dan hasil panennya, membayar  pajak, mengikuti kerja rodi, dan menanggung risiko apabila gagal
  3. Akibat bermacam-macam beban menimbulkan  tekanan  fisik dan mental yang
  4. Timbulnya bahaya kemiskinan  yang makin
  5. Timbulnya bahaya kelaparan  dan wabah  penyakit  di mana-mana sehingga angka kematian meningkat Bahaya kelaparan menimbulkan korban jiwa yang sangat mengerikan di daerah Cirebon (1843), Demak (1849), dan Grobogan (1850). Kejadian ini menga- kibatkan jumlah penduduk  menurun  drastis. Di samping  itu, juga terjadi penyakit  busung lapar (hongorudim) di mana-mana.

2)   Bagi Belanda.

Apabila sistem tanam  paksa  telah menimbulkan  malapetaka bagi bangsa Indonesia, sebaliknya bagi bangsa Belanda ialah sebagai berikut:                                    

  1. Keuntungan  dan kemakmuran rakyat Belanda.
  2. Hutang-hutang Belanda
  3. Penerimaan pendapatan melebihi anggaran
  4. Kas Negeri Belanda yang semula kosong dapat
  5. Amsterdam berhasil  dibangun  menjadi  kota  pusat  perdagangan
  6. Perdagangan berkembang.


D. Akhir Tanam Paksa

Sistem  tanam  paksa  yang  mengakibatkan kemelaratan bagi bangsa Indonesia, khususnya Jawa,  akhirnya menimbulkan  reaksi dari berbagai pihak, seperti  berikut ini.

1)   Golongan  Pengusaha

Golongan  ini menghendaki kebebasan  berusaha. Mereka menganggap bahwa  tanam paksa  tidak sesuai dengan  ekonomi  libe- ral.

2)   Baron Van Hoevel

Ia adalah  seorang  missionaris  yang  pernah  tinggal  di Indonesia (1847).  Dalam  perjalanannya di Jawa,  Madura  dan  Bali, ia melihat penderitaan rakyat Indonesia akibat tanam paksa. Ia sering melancarkan kecaman terhadap pelaksanaan tanam paksa. Setelah pulang ke Negeri Belanda  dan  terpilih  sebagai  anggota   parlemen, ia semakin  gigih berjuang dan menuntut agar tanam  paksa dihapuskan.

3)   Eduard Douwes Dekker

Ia adalah seorang pejabat Belanda yang pernah menjadi Asisten Residen Lebak  (Banten). Ia cinta  kepada  penduduk  pribumi,  khususnya  yang menderita  akibat tanam  paksa. Dengan nama  samaran  Multatuli yang berarti "aku telah banyak menderita", ditulisnya buku Max Havelaar atau Lelang Kopi Persekutuan Dagang Belanda (1859) yang menggambarkan penderitaan rakyat akibat tanam paksa dalam kisah Saijah dan Adinda.

Akibat adanya reaksi tersebut, pemerintah Belanda secara berangsur-angsur  menghapuskan sistem  tanam  paksa.  Nila, teh,  kayu  manis dihapuskan   pada  tahun  1865, tembakau   tahun  1866, kemudian menyusul  tebu  tahun  1884. Tanaman terakhir  yang  dihapus adalah kopi pada tahun 1917 karena paling banyak memberikan  keuntungan.

OPEN DOOR POLITIK ( POLITIK PINTU TERBUKA)

Sesudah  tahun  1850, kaum  liberal memperoleh kemenangan politik di Negeri  Belanda. Mereka  juga ingin menerapkan asas-asas liberalisme di tanah  jajahan.  Dalam  hal ini kaum liberal berpendapat bahwa pemerintah semestinya tidak ikut campur tangan dalam masalah ekonomi; tugas ekonomi haruslah diserahkan kepada orang-orang swasta;  agar  kaum  swasta  dapat  menjalankan tugasnya  maka  harus diberi kebebasan  berusaha.

Sesuai  dengan  tuntutan  kaum  liberal maka  pemerintah kolonial segera memberikan peluang kepada usaha dan modal swasta untuk menanamkan modal  mereka  dalam  berbagai  usaha  di Indonesia, terutama  perkebunan-perkebunan di Jawa  dan  di luar Jawa. Selama periode tahun 1870–1900 Indonesia terbuka bagi modal swasta Barat. Itu sebabnya zaman  itu sering  disebut  zaman  Liberal.  Selama  masa Liberal,  kaum  swasta  Barat  aktif membuka  perkebunan-perkebunan seperti, kopi, teh, gula, dan kina yang cukup besar di Jawa dan Sumatra Timur.

Pembukaan perkebunan besar itu dapat  dilakukan dengan  adanya Undang-Undang Agraria 1870. Tahukan anda tujuan dibuatnya UU Agraria? Adapun  tujuannya  ialah sebagai berikut.

1)   Untuk melindungi hak milik petani pribumi atas tanahnya, dari penguasaan asing.

2)   Peluang kepada para pengusaha asing untuk dapat menyewa tanah dari rakyat Indonsia.

Dengan  demikian,  para  pengusaha hanya  dapat  diperbolehkan menyewa tanah-tanah petani dalam jangka waktu tertentu dan tidak boleh membelinya.  Dalam  Undang-Undang Agraria  juga telah  disebutkan bahwa  tanah  yang boleh disewa digolongkan  menjadi dua macam.

1)   Tanah  milik negara,  yaitu tanah-tanah yang tidak secara langsung menjadi milik penduduk pribumi ( di luar wilayah desa). Tanah ini dapat disewa selama 75  tahun.

2)   Tanah milik penduduk  pribumi, misalnya sawah, ladang, dan yang sejenis yang dimiliki langsung oleh penduduk desa. Tanah ini dapat disewa dalam jangka waktu 5 tahun atau  sampai dengan  30 tahun. Harapan kaum  liberal untuk  membuka  tanah  jajahan  bagi  per- kembangan ekonomi Hindia Belanda ternyata dapat tercapai. Perkebunan gula, kopi, tembakau, dan tanaman-tanaman perdagangan lainnya diusahakan secara luas dan meningkat secara cepat. Untuk memperlancar perkembangan produksi tanaman ekspor maka pemerintah membangun waduk-waduk dan saluran-saluran  irigasi. Selain irigasi juga dibangun jalan-jalan raya, jembatan-jembatan, dan  jalan kereta  api.  Pembangunan jalan dimak- sudkan untuk menunjang kelancaran pengangkutan hasil-hasil perusa- haan  perkebunan dari daerah  pedalaman ke daerah  pantai  atau pela-buhan  yang kemudian  diteruskan  ke luar. Selama  zaman  Liberal (1870–1900),  usaha-usaha perkebunan swasta Barat mengalami kemajuan pesat dan mendatangkan keuntungan yang  besar  bagi  pengusaha. Kekayaan  alam  Indonesia mengalir ke Negeri Belanda. Akan tetapi, bagi penduduk pribumi, khususnya  di Jawa  telah  membawa   kemerosotan kehidupan   dan kemunduran tingkat kesejahteraan. Hal ini sangat  terasa  sejak adanya krisis perkebunan tahun  1885 yang mengakibatkan uang sewa tanah dan upah pekerja di pabrik serta perkebunan menurun.

Pada akhir abad ke-19, muncullah kritik-kritik tajam yang ditujukan kepada pemerintah Hindia Belanda akibat praktik liberalisme yang gagal memperbaiki  nasib kehidupan  rakyat  Indonesia.  Para  pengkritik  me- nganjurkan  untuk memperbaiki  nasib rakyat Indonesia.  Kebijaksanaan ini didasarkan  atas anjuran Mr. C. Th. Van Deventer  yang menuliskan buah  pikirannya  dalam  majalah  De Gids (perinstis/pelopor) dengan judul Een Ereschuld (Berhutang  Budi) sehingga  dikenal dengan  nama politik etis atau  politik balas  budi.  Gagasan  Van  Deventer  terkenal dengan  nama  Trilogi Van Deventer  yang isinya sebagai berikut.

1)   irigasi atau  pengairan (memperbaiki  pengairan);

2)   emigrasi atau  pemindahan penduduk  atau   transmigrasi;

3)   edukasi atau  pendidikan  (memajukan  pendidikan).

baca juga : akar-akar nasionalisme (Pergerakan Nasional)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

POSTINGAN UNGGULAN

KISI-KISI SEJARAH X SOAL AKM

  CONTOH KISI -KISI SOAL AKM KLS X  MATA PELAJARAN IPS SEJARAH TAHUN 2022-2023