Pages

Jumat, 30 Oktober 2020

SULTAN AGUNG MATARAM DAN SULTAN AGENG TIRTAYASA BANTEN MELAWAN VOC

 A. LATAR BELAKANG PERLAWANAN SULTAN AGUNG TERHADAP VOC

Perlawanan Sultan Agung terhadap VOC di Batavia dilakukan pada tahun 1628 dan 1629. Perlawanan tersebut disebabkan oleh beberapa hal, yaitu

  • Sultan Agung menyadari bahwa kehadiran Kompeni Belanda di Batavia dapat membaha- yakan  kesatuan Negara yang dalam hal ini terutama Pulau Jawa .
  • Sultan Agung sempat mengajukan permintaan bantuan angkatan laut kepada VOC, tetapi permintaan Sultan Agung akan bantuan angkatan laut VOC dalam rangka melawan Surabaya, Banten, maupun Banjarmasin ditolak oleh pihak VOC.
  • Bagi Sultan Agung, Batavia merupakan kota yang dapat merugikan kerajaannya. Hubungan antara Mataram dan Malaka dipersukar oleh Batavia. Atas dasar inilah raja Mataram mengadakan persiapan untuk menyerbu Batavia.
  • Imperialisme Belanda dengan VOC nya mempunyai dua rencana kejahatan. Pertama, dalam proses mempercepat perebutan kekuasaan ekonomi Islam. Kedua, berlomba-lomba untuk memperoleh hegemoni antar Imperialis Barat di Nusantara dan Kerajaan Katolik Portugis juga Spanyol serta Kerajaan Protestan Anglikan Inggris. Di bawah kondisi tantangan Imperialis Protestan Belanda ini, Sultan Agung melancarkan serangan ke Batavia pada tahun 1628-1629



BENTUK PERLAWANAN SULTAN AGUNG TERHADAP VOC

  • Perlawanan Pertama, 1628.

Tanda-tanda pertama bahwa orang Mataram akan merencakan sesuatu yang luar biasa adalah penutupan hampir seluruh pantai Jawa atas perintah Tumenggung Baureksa dari Kendal. Penutupan ini telah dimulai pada awal tahun 1628.  Pada tanggal 13 April 1628, Kia Rangga tiba di Batavia dengan 14 kapal yang bermuatan beras. Ia memohon bantuan kepada Belanda agar membantu Sultan Agung melawan Banten. Permohonan pertama dipertimbangkan oleh pemerintah pusat, tetapi permohonan selanjutnya ditolak karena semua pelabuhan jelas ditutup dengan ketat. Pada tanggal 22 Agustus 1628, Tumenggung Baureksa (Panglima tertinggi armada Jawa) tiba di pelabuhan Batavia dengan 50 kapal yang lengkap dengan perbekalan yang sangat banyak.  Hal ini membuat VOC sangat prihatin, sehingga sebagian hewan diturunkan dan sebagian kapalkapal besar ditahan di luar pelabuhan yang menimbulkan kemarahan pasukan Mataram. Pada tanggal 24 Agustus, tiba lagi 7 kapal dengan tujuan Malaka. Pihak Belanda berusaha memisahkan 7 kapal ini dari kapal-kapal lainnya agar tidak sempat memberikan senjata kepada teman-temannya. Akan tetapi, usaha ini gagal, kapal-kapal akhirnya dapat berkumpul. Pada pagi hari 20 buah perahu menyerang pasar dan benteng. Orangorang Mataram yang dengan perahu itu naik ke darat dan mereka berhasil mencapai benteng. Penyerbuan ini berlangsung sampai pagi. Banyak korban yang jatuh. Tujuh perahu yang datang pada tanggal 24 Agustus mendarat di Marunda dan tidak mau mendekati Batavia setelah mengetahui penyerbuan ke benteng tersebut memakan banyak korban. Keesokan harinya, 26 Agustus  datang sebuah pasukan besar di bawah pimpinan Tumenggung Baureksa. Dalam menghadapi kekuatan Mataram, Belanda mengorbankan daerah sekitar benteng. Kampung disekitarnya dibakar dan diratakan dengan tanah. Pada waktu pasukan Mataram hendak mendekati benteng, dengan mudahnya Belanda mengusir mereka karena pihak Mataram tidak mendapat tempat persembunyian. Akhirnya, dengan terpaksa pasukan Mataram menarik diri ke daerahdaerah yang agak jauh yang berpohon dan membuat benteng-benteng dari anyaman bambu. Adapun taktik VOC untuk menghadapi pasukan Mataram ini adalah dengan mengirim sejumlah tentara yang dilindungi oleh 150 penembak sehingga mereka berhasil mengusir pasukan Mataram dari parit-parit ini. Korban yang tercatat pada peristiwa ini diperkirakan antara tiga puluh sampai empat puluh orang.  Pada pertempuran ini Tumenggung Baureksa beserta putraya dan sekitar 200 pasukan mataram gugur. Akhirnya, pasukan Mataram yang kedua telah tiba untuk memperkuat pasukan sebelumnya. Pertempuran ini hampir mengalahkan Belanda, karena pasukan Belanda kebanyakan kehabisan peluru. Panglima pasukan yang baru bernama Tumenggung Sura Agul-Agul dibantu oleh Tumenggung Mandurareja dan Tumenggung Upasanta. Mereka dikatakan tiba di ambang Batavia dengan harapan kota telah ditaklukkan sehingga mereka hanya tinggal menyita pakaian-pakaian dan beberapa uang. Angkatan kedua ini mengubah taktik dan hendak menjalankan taktik seperti yang digunakan terhadap Surabaya, yaitu dengan membendung Sungai Ciliwung dengan maksud agar Batavia kekurangan air. Namun, usaha ini gagal karena musim penghujan mulai datang. 


BACA JUGA: soal perlawanan terhadap penjajahan part 2

  • Serangan Kedua, 1629

Angkatan perang Sultan Agung berangkat dalam dua gelombang, yang pertama terdiri atas artileri dan amunisi yang berangkat pada pertengahan Mei 1629, adapun gelombang kedua ialah pasukan infanteri yang berangkat pada tanggal 20 juni 1629. Pasukan itu dipimpin oleh Kyai Adipati Juminah, K.A. Purbaya, dan K.A. Puger. Mereka dibantu oleh Tumenggung Singaranu, Raden Aria Wiranatapada, Tumenggung Madiun dan K.A. Sumenep. Apapun usaha dan kemahiran yang dilancarkan pasukan Sultan Agung terhadap VOC, pihak Mataram tetap saja menerima kekalahan. Hal ini disebabkan karena dengan kekurangan makanan seluruh pengepungan hanya bertahan satu bulan. Pada tanggal 8 September pihak yang dikepung melihat bahwa orang Mataram dengan parit perlindungan yang sangat diperkuat telah 59 mendekati benteng Hollandia. Hanya dengan satu sergapan saja, parit-parit pertahanan tersebut dapat dihancurkan. pada tanggal 12 September, benteng Bommel diserbu 200 orang, delapan hingga sembilan orang mulai memanjat dan langsung dipukul mundur.18 Pada tanggal 14 dan 15 September datang gerobak-gerobak berisi meriam yang ditarik dengan menggunakan 12 sampai dengan 18 ekor kerbau. Pada tanngal 17 September pihak VOC merencakan sebuah sergapan di bawah pimpinan Antonio van Diemen. Sebagian pertahanan pihak Mataram dibakar. Akan tetapi, hujan menolong pihak Mataram dalam usahanya untuk memadamkan kebakaran. Pada hari-hari berikutnya pihak Mataram mempersiapkan persenjataan mereka. Sehingga pada tanggal 21 September, tepat sebulan sesudah orang Mataram pertama muncul di Batavia, tembakan pertama dapat dilepaskan. Pada tanggal 20 September Gubernur Jenderal Jan Pietersz. Coen meninggal dunia karena mendadak sakit. Tepat pada tanggal 27 September pihak Belanda memutuskan untuk tidak lagi mengadakan serangan umum, karena pihak Mataram yang ditawan memberi keterangan tentang bahaya kelaparan yang semakin mengancam. Pada serangan kecil yang terjadi pada 1 Oktober, pihak Mataram kelihatan tidak bersemangat lagi. Keesokan harinya penarikan mundur dimulai.  Penyerangan di tahun 1629 ini mengakibatkan pihak Mataram mengalami banyak penderitaan yang disebabkan oleh penyakit dan kelaparan, tentarannya pun bercerai-berai dalam perjalanan pulang mereka. Sedangkan VOC hanya menderita sedikit kerugian. Ambisi Sultan Agung tidak seimbang dengan kemampuan militer dan logistiknya sehingga telah membawa dirinya ke dalam kehancuran di depan Batavia. Semenjak itu, tentara Mataram tidak pernah lagi menyerang Batavia. Menurut Graff, penyebab kegagalan pihak Mataram terletak pada kurangnya perawatan, kurangnya daya tembak dibandingkan dengan kemampuan orang Eropa, serta postur tubuh orang Jawa yang lebih kecil jika dibandingkan dengan orang Belanda. Juga benteng pertahanan Eropa, bagaimanapun primitif dan kurang efisiensinya, sangat menyulitkan mereka. Misalnya saja serbuan mereka yang gagal terhadap benteng kecil yang dipertahankan oleh kurang lebih 12 orang saja. Meskipun demikian, pasukan Mataram ternyata sangat berdisiplin, mereka berani bertempur, dan dapat menyesuaikan diri dengan cara-cara tempur yang asing baginya, misalnya pengepungan terhadap kota yang diperkuat secara Eropa.


baca juga : kebijakan Raffles (Inggris) ketika menjajah Indonesia

  • DAMPAK KEKALAHAN SULTAN AGUNG BAGI MATARAM

Kegagalan yang sampai dua kali dialami pasukan Mataram di Batavia tentu meninggalkan kesan yang mendalam terhadap Mataram khususnya bagi Sultan Agung. Setelah musibah di Batavia, Sultan Agung memang patut cemas. Pertama, rakyat Priangan melepaskan diri dari kekuasaan Raja karena menyesalkan petaka di Batavia yang meminta banyak korban. Di samping itu, mulai terjadi sejumlah pergolakan di sekitar pusat kerajaan yang mungkin lebih berbahaya. Musibah yang terjadi pada tahun 1628 dan tahun 1629 jelas mencemaskan lapisan masyarakat Mataram. Suatu rangkaian kemenangan yang tidak ada putusnya, sekarang tiba-tiba berhenti. Dikabarkan bahwa suluruh bangsawan Mataram diliputi rasa takut terhadap Batavia, dan mereka menasehati Sultan Agung agar tidak lagi memerintahkan untuk kembali ke Batavia, kecuali bila Sultan Agung ikut serta. Pada tahun 1630, Sultan tidak mampu berbuat sesuatu yang luar biasa. Sepertinya ekspedisi pada tahuntahun sebelumnya dan terutama pada tahun 1629 sangat melelahkan Sultan . Puncak Kekuasaan Mataram, Kekalahan Sultan Agung di Batavia juga telah menghancurkan mitos bahwa dirinya tidak dapat dikalahkan. Kerajaannya yang rapuh harus dipersatukan kembali dengan kekuatan militer. Kekalahan tersebut juga mengakibatkanVOC di Jawa semakin kuat dan merajalela. Sehingga kerajaan Mataram dipaksa untuk mengakuinya.


Baca juga : Perang korea dan terbentuknya Korea Utara dan Korea Selatan

 

  • MATARAM PASCA KEKALAHAN DI BATAVIA

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa kekalahan di Batavia menyebabkan daerah-daerah bawahan Mataram melakukan pemberontakan untuk merdeka. Diawali dengan pemberotakan yang dipimpin oleh para guru agama dari daerah Tembayat, pada tahun 1630 Sultan Agung membantai habis-habisan kaum pemberontak tersebut. Pada tahun 1631, Sultan Agung menumpas pusat-pusat perlawanan di Sumedang dan Ukur di Jawa Barat. Kemudian di tahun 1636 terjadi pemberontakan di Giri. Sultan Agung mengutus Pangeran Pekik untuk menaklukkan Giri dan pada tahun 1640 berhasil menundukkan Blambangan. Akhirnya, pada tahun 1646 kira-kira antara awal bulan Februari dan awal bulan April, Sultan Agung wafat. Hal ini diduga karena Sultan Agung terserang suatu penyakit. Pintu-pintu gerbang yang menuju ke istana ditutup untuk mencegah terjadinya kudeta, dan putranya dinyatakan sebagai penggangtinya dengan gelar Susuhunan Amangkurat I.  Pada masa Amangkurat I (Pengganti Sultan Agung), pengejaran terhadap Giri terus dilakukan dan sebanyak 6000 santri dibantai di alun-alun Plered. ketika Giri telah dikuasai, maka tidak ada satu pun daerah pesisir yang merdeka. Inilah yang kemudian disebut sebagai pemisahan antara agama dan Negara. Jika pada masa-masa sebelumnya, ulama pesisir banyak yang menjadi penasehat raja, maka semenjak itu ulama-ulama pesisir tidak lagi menjadi penasehat raja. Amangkurat I memang berbeda dengan ayahnya yakni Sultan Agung yang sangat menentang VOC. Amangkurat I bersikap anti ulama dan melakukan pendekatan serta kerja sama dengan VOC.(sumber : http://digilib.uinsby.ac.id)

B. PERLAWANAN BANTEN

Sultan Ageng Tirtayasa adalah putra dari Sultan Abu al-Ma’ali Ahmad (Sultan Banten periode 1640-1650) dan Ratu Martakusuma. Sejak kecil ia bergelar Pangeran Surya, kemudian ketika ayahnya wafat, ia diangkat menjadi Sultan Muda yang bergelar Pangeran Dipati. Setelah kakeknya meninggal dunia pada tanggal 10 Maret 1651, ia diangkat sebagai Sultan Banten ke-6 dengan gelar Sultan Abu al-Fath Abdulfattah. Nama Sultan Ageng Tirtayasa berasal ketika ia mendirikan keraton baru di dusun Tirtayasa (terletak di Kabupaten Serang)

Sultan Ageng Tirtayasa berkuasa di Kesultanan Banten pada periode 1651 – 1683. Ia memimpin banyak perlawanan terhadap Belanda. Masa itu, VOC menerapkan perjanjian monopoli perdagangan yang merugikan Kesultanan Banten. Kemudian Tirtayasa menolak perjanjian ini dan menjadikan Banten sebagai pelabuhan terbuka. Saat itu, Sultan Ageng Tirtayasa ingin mewujudkan Banten sebagai kerajaan Islam terbesar.

Di bidang ekonomi, Tirtayasa berusaha meningkatkan kesejahteraan rakyat dengan membuka sawah-sawah baru dan mengembangkan irigasi. Di bidang keagamaan, ia mengangkat Syekh Yusuf sebagai mufti kerajaan dan penasehat sultan.


Ketika terjadi sengketa antara kedua putranya, Sultan Haji dan Pangeran Purbaya, Belanda ikut campur dengan cara bersekutu dengan Sultan Haji untuk menyingkirkan Sultan Ageng Tirtayasa. Saat Tirtayasa mengepung pasukan Sultan Haji di Sorosowan (Banten), Belanda membantu Sultan Haji dengan mengirim pasukan yang dipimpin oleh Kapten Tack dan Saint-Martin. ( Sumber https://id.wikipedia.org ) VOC belanda mau membantu Sultan haji dengan 4 syarat :

  1. Banten harus menyerahkan Cirebon kepada VOC Belanda.
  2. Monopoli perdagangan Lada di banten dipegang VOC Belanda
  3. Banten harus membayar 600.000 ringgit kalau inkar janji.
  4. Pasukan Banten yang menguasai pesisir pantai dan pedalaman Priangan harus ditarik.

Dengan bantuan VOC Belanda akhirnya Sultan Haji berhasil mengalahkan Sultan Ageng Tirtayasa yang kemudian dipenjara di Batavia. Perlawanan akhirnya diteruskan oleh Ki Tapa dan Ratu bagus Buang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

POSTINGAN UNGGULAN

KISI-KISI SEJARAH X SOAL AKM

  CONTOH KISI -KISI SOAL AKM KLS X  MATA PELAJARAN IPS SEJARAH TAHUN 2022-2023